Beropini - Toxic Masculinity

Sejak kecil, banyak dari kita—terutama laki-laki—telah dijejali dengan berbagai perintah yang bersifat membentuk. “Jangan menangis, kamu laki-laki!”, “Laki-laki harus kuat!”, “Cowok kok cengeng?”, dan segudang narasi lainnya yang secara sadar maupun tidak, telah menyusun rangkaian batasan atas bagaimana seorang laki-laki seharusnya merasa, bersikap, dan berperilaku.

Konsep ini sering disebut sebagai toxic masculinity—suatu bentuk maskulinitas yang tidak sehat, yang ditopang oleh nilai-nilai patriarkal yang telah mengakar lama di dalam budaya. Toxic masculinity tidak hanya merugikan perempuan dan kelompok rentan, tetapi juga laki-laki itu sendiri. Ia memaksa laki-laki untuk menekan emosi, membangun citra kuat yang rapuh, dan menjauh dari ekspresi kasih sayang, kerentanan, atau kelembutan.

Tulisan ini adalah sebuah perenungan pribadi sekaligus ajakan kolektif untuk membongkar dan melampaui batas-batas sempit maskulinitas yang ditentukan masyarakat. Ini bukan tentang menolak menjadi laki-laki, tetapi tentang menolak definisi sempit tentang laki-laki yang selama ini justru membelenggu.

Dinding-dinding Maskulinitas Tradisional

Laki-laki selama ini dididik untuk memegang kendali, tidak lemah, tidak emosional (kecuali marah), dan tidak boleh kalah. Dalam budaya populer, tokoh-tokoh laki-laki yang dianggap ideal adalah mereka yang dingin, logis, keras, dan selalu bisa menyelesaikan masalah tanpa air mata. Jika ia terlalu ekspresif, terlalu lembut, atau menunjukkan rasa takut, maka ia dicap feminin, lemah, bahkan dikaitkan dengan orientasi seksual tertentu secara merendahkan.

Citra ini terbentuk dari sistem patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai subjek dominan dalam struktur sosial. Laki-laki dianggap sebagai pemimpin, kepala keluarga, pelindung, pencari nafkah utama. Dengan ekspektasi tersebut, muncul juga tuntutan agar laki-laki tidak boleh terlihat rapuh.

Namun, sistem ini tidak hanya membatasi perempuan. Ia juga menciptakan kerangkeng untuk laki-laki sendiri. Mereka diajarkan untuk membangun tembok terhadap perasaan mereka sendiri. Mereka boleh marah, tapi tidak boleh sedih. Boleh keras, tapi tidak boleh lembek. Tembok inilah yang membuat laki-laki sering kehilangan akses terhadap dirinya sendiri.

Konsekuensi Nyata dari Toxic Masculinity

Banyak penelitian menunjukkan bahwa toxic masculinity berkontribusi langsung terhadap berbagai krisis sosial dan kesehatan mental. Berikut beberapa dampaknya:

  1. Masalah Kesehatan Mental
    Laki-laki sering menolak mencari bantuan psikologis karena takut dianggap lemah. Akibatnya, tingkat bunuh diri di kalangan laki-laki lebih tinggi di berbagai negara, termasuk Indonesia. Mereka lebih tertekan, tetapi tidak tahu atau tidak diajarkan bagaimana cara menyalurkan tekanan tersebut secara sehat.

  2. Kekerasan Berbasis Gender dan Sosial
    Toxic masculinity memupuk rasa superioritas dan dominasi. Ia berkontribusi pada kekerasan dalam rumah tangga, pelecehan seksual, bullying, bahkan perundungan di tempat kerja. Laki-laki yang merasa terancam identitas maskulinnya seringkali merespons dengan agresivitas.

  3. Keterbatasan Emosional dan Hubungan Sosial
    Laki-laki yang terjebak dalam toxic masculinity cenderung mengalami kesulitan membentuk hubungan yang sehat. Mereka tidak terbiasa mengekspresikan perasaan secara jujur, atau merasa malu untuk menjadi rentan di hadapan pasangan, teman, atau keluarga.

Ketika Laki-Laki Menangis, Dunia Tidak Runtuh

Aku pribadi tumbuh di lingkungan yang sangat maskulin—bukan dalam arti positif. Aku mendengar dari kecil bahwa menjadi laki-laki berarti tidak boleh lemah. Aku pun belajar menahan tangis, berpura-pura tenang, memendam luka dalam diam. Tapi semakin dewasa, aku mulai merasa bahwa aku justru tidak utuh. Aku menjadi manusia yang pincang secara emosional—kuat di luar, tetapi retak di dalam.

Baru ketika aku mulai belajar untuk jujur pada diriku sendiri, mulai membuka diri terhadap perasaan, dan mulai menangis tanpa malu, aku merasa lebih menjadi manusia. Menjadi laki-laki bukan berarti tidak boleh menangis. Menjadi manusia adalah tentang bisa merasakan semuanya—sedih, takut, marah, bahagia, haru—dan itu semua valid.

Air mata bukan kelemahan. Ia adalah ekspresi emosional yang sehat dan perlu. Ketika aku menangis, dunia tidak runtuh. Tapi ada bagian dari diriku yang justru sembuh.

Membentuk Ulang Makna Maskulinitas

Maskulinitas tidak perlu ditolak, tapi perlu ditata ulang. Kita bisa membangun maskulinitas baru yang sehat—yang tidak kaku, tidak represif, dan tidak beracun. Maskulinitas baru ini bisa meliputi:

  • Maskulinitas empatik: Laki-laki yang berani merasakan, mendengarkan, dan hadir secara emosional.

  • Maskulinitas reflektif: Laki-laki yang tidak merasa harus tahu segalanya, tapi mau belajar dan terbuka terhadap kritik.

  • Maskulinitas kolaboratif: Laki-laki yang tidak memaksakan dominasi, tapi mampu bekerja bersama dan membagi peran secara adil.

  • Maskulinitas yang sadar diri: Laki-laki yang mengakui privilege-nya dan tidak menggunakannya untuk menindas, tapi untuk mengangkat sesama.

Maskulinitas yang sehat adalah yang memberi ruang untuk ekspresi penuh sebagai manusia, bukan hanya sebagai “laki-laki ideal” menurut masyarakat.

Tantangan dan Resistensi

Tentu membongkar konstruksi maskulinitas bukan hal yang mudah. Ada stigma sosial, tekanan kelompok sebaya, dan bahkan perasaan malu internal. Laki-laki yang mencoba tampil lembut sering direndahkan. Mereka dianggap tidak “jantan”. Tapi justru keberanian untuk menjadi berbeda, untuk menolak norma yang tidak sehat, adalah tindakan yang sangat jantan dalam arti yang sesungguhnya.

Resistensi terhadap toxic masculinity bukan sekadar aksi individu. Ini adalah proyek sosial kolektif. Diperlukan ruang aman, komunitas suportif, dan sistem pendidikan yang inklusif gender untuk mengubah pola ini dari akar. Pendidikan gender harus masuk sejak dini, terutama di lingkungan sekolah dan keluarga.

Kita juga perlu figur-figur publik yang menjadi role model maskulinitas sehat. Kita perlu melihat lebih banyak laki-laki yang menangis, yang merawat, yang mendengar, yang tidak malu mengakui kelemahannya.

Laki-Laki, Pelukan Itu Bukan Ancaman

Salah satu hal paling menyedihkan yang aku lihat adalah bagaimana laki-laki sering kelaparan akan sentuhan afeksi. Pelukan, genggaman tangan, kata-kata penuh cinta—semua itu dianggap “terlalu feminin”. Padahal, tubuh dan jiwa manusia butuh semua itu.

Banyak laki-laki yang hancur pelan-pelan karena kesepian, tapi tidak bisa bilang. Tidak ada ruang untuk menyuarakan “aku takut”, “aku lelah”, atau bahkan “aku sayang kamu”. Toxic masculinity telah membunuh banyak cinta yang seharusnya bisa tumbuh.

Maka mari kita mulai dari hal-hal kecil: peluk sahabat laki-laki kita ketika ia sedih. Katakan bahwa kamu bangga padanya. Biarkan air matanya jatuh di pundakmu tanpa merasa harus menguatkan. Sebab kadang, kekuatan terbesar adalah menjadi tempat istirahat untuk satu sama lain.

Membebaskan Laki-Laki, Menyembuhkan Masyarakat

Ketika kita membebaskan laki-laki dari konstruksi maskulinitas toksik, kita sebenarnya sedang menyembuhkan masyarakat secara keseluruhan. Dunia yang lebih empatik, lembut, dan adil akan lahir dari laki-laki yang tidak takut menangis, tidak malu merawat, dan tidak segan mencintai dengan utuh.

Sebagai laki-laki, kita tidak perlu hidup untuk memenuhi ekspektasi masyarakat yang sempit. Kita berhak menjadi versi terbaik dari diri kita sendiri—dengan seluruh kompleksitas emosi dan identitas yang kita miliki.

Karena pada akhirnya, menjadi laki-laki bukan soal menjadi kuat terus-menerus. Tapi soal menjadi manusia seutuhnya—yang boleh takut, boleh jatuh, dan boleh menangis… tanpa perlu merasa gagal.


Komentar

Postingan Populer