A Journey of Selflessness and Unconditional Love
Dari kecil, ogut tuh selalu ngerasa wajar kalau minta ini itu dari papa sama mama. Fasilitas harus tersedia, sekolah yang bagus, les tambahan, bahkan hal-hal kecil kayak jajan atau mainan tuh ogut anggap sebagai hak. Tapi makin dewasa, ogut mulai mikir, “ini semua datangnya dari mana ya?” Karena ternyata, semua itu bukan sesuatu yang muncul begitu aja. Ada tangan-tangan yang kerja diam-diam di balik semua kemudahan yang ogut nikmatin.
Sedikit cerita, papa sama mama ogut bukan orang yang menempuh pendidikan tinggi. Bahkan untuk bisa lulus sekolah aja mereka harus berjuang keras. Tapi dari mereka lah ogut belajar bahwa pendidikan tinggi itu bukan cuma tentang gelar, tapi tentang harapan. Harapan mereka, yang dulu sempat gagal mereka raih, ingin dititipkan ke ogut dan saudara-saudara ogut. Mereka literally hidup untuk memastikan anak-anaknya bisa nyampe tempat yang dulu cuma bisa mereka bayangin.
Dulu waktu masih kecil, sebelum tidur, ogut suka banget ngobrol sama mereka. Ngobrol random, curhat, cerita tentang sekolah, sampai akhirnya ogut nanya, “Cita-cita papa sama mama dulu apa sih?” Jawabannya ngena banget. Papa bilang pengen jadi mantri. Mama bilang pengen jadi perawat. Dua profesi yang mungkin kedengerannya biasa, tapi buat mereka itu udah mimpi besar. Mimpi yang harus dikubur karena keadaan hidup waktu itu gak kasih ruang buat mereka berkembang.
Papa ogut itu sejak balita udah ditinggal ayahnya. Sementara mama ogut juga sama, sejak kecil udah gak punya ibu. Dulu ogut ngerasa itu cerita yang biasa aja. Tapi sekarang, setelah mulai ngalamin kerasnya hidup dan beratnya keputusan-keputusan dewasa, ogut mulai sadar. Gimana mereka bisa survive dan tumbuh jadi orangtua hebat tanpa punya figur lengkap dalam hidupnya? How did they learn to parent when no one parented them?
Ogut mulai merenung, mungkin inilah kenapa mereka begitu keras berjuang buat ogut. Mereka gak mau mimpi ogut berhenti kayak mimpi mereka dulu. Mereka gak punya panduan, gak punya privilege, tapi mereka punya prinsip—anak-anak mereka gak boleh ngalamin kegagalan yang sama. Semua luka masa kecil mereka, semua pengorbanan yang gak kelihatan, mereka ubah jadi bahan bakar buat dorong ogut lebih tinggi.
Setiap pencapaian yang ogut raih sekarang, honestly bukan hasil ogut doang. Dari ogut bisa lulus pas S1 dengan cumlaude dan banyak berprestasi dalam lomba, lanjut S2 tanpa gap-year, sampai sekarang bisa jadi dosen PNS di Universitas Pattimura—semuanya adalah pencapaian kolektif. Itu adalah hasil kombinasi antara kerja keras ogut dan doa tulus mereka yang gak pernah berhenti dari dulu sampai sekarang.
Ogut inget banget waktu pertama kali dinyatakan lulus CPNS, mereka sangat bangga. Bukan karena sedih, tapi karena lega. Lega karena perjuangan mereka ternyata gak sia-sia. Lega karena anaknya yang dulu mereka gendong dengan badan capek sehabis kerja seharian, sekarang bisa berdiri sendiri dan mulai ngebangun hidup dari pijakan yang mereka siapkan.
Ogut pernah mikir, “Apakah menjadi orangtua itu artinya harus selalu berkorban?” Jawabannya ogut temuin dari cerita hidup mereka sendiri. Tanpa pernah mereka bilang secara langsung, mereka udah ngajarin bahwa jadi orangtua berarti siap naruh ego di belakang, dan taruh kebahagiaan anak di depan. Mereka gak pernah minta dibalas. Mereka cuma ingin anaknya bisa senyum dan merasa cukup.
Sekarang, setelah ogut jadi dewasa dan mulai masuk ke fase hidup yang penuh tanggung jawab, ogut makin sadar kalau semua yang ogut punya hari ini adalah mimpi mereka yang hidup di tubuh ogut. Ogut adalah representasi dari harapan-harapan kecil mereka dulu yang gak pernah sempat tumbuh. Dan karena itu, ogut ngerasa punya tanggung jawab moral untuk terus maju.
Ogut gak cuma kerja buat diri sendiri. Setiap ogut nulis artikel hukum, ngajarin mahasiswa soal keadilan, atau bikin kegiatan pengabdian masyarakat, ogut inget papa mama. Mereka yang ngajarin ogut nilai kehidupan sebelum ogut belajar soal hukum. Mereka yang ngajarin ogut integritas sebelum ogut tahu definisinya. They are the real teachers behind my degree.
Mimpi ogut gak berhenti di sini. Ogut mau terus belajar, mau lanjut S3, mau jadi profesor sebelum usia 37, bukan demi prestise, tapi supaya bisa bilang ke papa dan mama, “Mimpi kalian gak sia-sia.” Ogut mau jadi akademisi yang gak cuma pintar, tapi juga berguna. Karena itu juga yang dulu mereka harapkan dari diri mereka—jadi orang yang bisa bantu orang lain.
Jadi sekarang, setiap kali ogut lagi ngerasa down atau capek, ogut akan tarik napas dan inget: ada dua orang yang dulu rela nyerahin semua buat ogut. Mereka bukan cuma orangtua, mereka adalah inspirasi hidup. Dan ogut bakal terus jalan bawa nama mereka di setiap langkah. Karena hidup ogut, adalah lanjutan dari mimpi mereka yang dulu sempat tertunda.
Komentar
Posting Komentar