Veil of Ignorance - Kritik Politik Dinasti Era Jokowi dalam Teori Keadilan Rawlsian
Pendahuluan
Teori keadilan sebagai fairness yang dikembangkan oleh John Rawls dalam karyanya A Theory of Justice (1971) menekankan bahwa keadilan sejati hanya dapat diwujudkan apabila prinsip-prinsip dasar masyarakat dirancang dari "original position"—suatu kondisi hipotetik di mana individu tidak mengetahui posisi mereka dalam masyarakat. Dalam kondisi ini, individu berada di balik "veil of ignorance" (tirai ketidaktahuan) yang membuat mereka buta terhadap status sosial, ekonomi, jenis kelamin, ras, serta latar belakang politiknya. Dalam posisi ini, Rawls meyakini bahwa individu secara rasional akan memilih prinsip-prinsip yang adil bagi semua pihak, termasuk kelompok yang paling rentan (Rawls, 1971).
Konsep veil of ignorance ini menjadi penting dalam menilai keadilan dari sistem politik, termasuk kebijakan publik dan mekanisme pengambilan keputusan dalam negara demokratis seperti Indonesia. Namun demikian, praktik politik di Indonesia masih jauh dari ideal Rawlsian tersebut. Fenomena politik dinasti yang terjadi selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo menjadi sorotan karena menimbulkan pertanyaan mendasar tentang apakah kebijakan-kebijakan yang diambil mencerminkan keadilan substantif yang seharusnya dijunjung tinggi oleh negara demokrasi.
Salah satu momen paling kontroversial adalah pencalonan Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi, sebagai calon Wakil Presiden dalam Pemilu 2024. Hal ini terjadi setelah Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan yang mengubah syarat usia calon presiden dan wakil presiden, dengan menyatakan bahwa mereka yang pernah menjadi kepala daerah dapat mencalonkan diri meskipun belum berusia 40 tahun. Keputusan ini menjadi problematik karena Ketua MK saat itu adalah Anwar Usman, yang juga merupakan ipar dari Presiden Jokowi. Keputusan tersebut akhirnya digugat dan Anwar Usman dinyatakan melakukan pelanggaran etik berat oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) (Kompas.com, 2023).
Permasalahan
Tulisan ini berupaya menganalisis permasalahan sebagai berikut: apakah praktik politik dinasti yang terjadi di era Presiden Joko Widodo, khususnya terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka sebagai calon Wakil Presiden, merupakan bentuk ketidakadilan yang bertentangan dengan prinsip veil of ignorance menurut John Rawls?
Pembahasan
1. Politik Dinasti dan Tantangan Demokrasi
Politik dinasti merupakan praktik politik yang terjadi ketika kekuasaan dijalankan dan diwariskan dalam lingkup keluarga atau kelompok kerabat dekat, sehingga potensi terjadinya oligarki dan penumpukan kekuasaan sangat besar. Fenomena ini bukan hal baru dalam politik Indonesia, namun semakin mendapatkan perhatian ketika muncul dalam konteks kekuasaan Presiden Jokowi yang sebelumnya dikenal sebagai sosok pemimpin rakyat biasa (Tirto.id, 2023).
Dalam sistem demokrasi modern, salah satu nilai fundamental yang dijunjung tinggi adalah prinsip keterbukaan dan kompetisi yang setara dalam mengakses kekuasaan. Demokrasi menempatkan semua warga negara pada posisi yang relatif setara dalam hal hak politik, termasuk hak untuk dipilih dan memilih. Prinsip ini lahir dari semangat egalitarianisme dan partisipasi politik yang merata. Idealnya, siapa pun, tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, atau hubungan keluarga, memiliki peluang yang sama untuk meraih posisi kekuasaan publik melalui mekanisme pemilu yang bebas dan adil. Namun, dalam praktiknya, kondisi ini seringkali terdistorsi oleh praktik-praktik seperti politik dinasti, yang secara struktural menciptakan ketimpangan dalam kompetisi politik.
Politik dinasti muncul ketika kekuasaan politik terakumulasi dalam lingkaran keluarga atau kerabat dekat dari tokoh politik tertentu. Meskipun tidak secara eksplisit dilarang oleh konstitusi dalam banyak negara demokrasi, termasuk Indonesia, praktik ini menimbulkan persoalan serius terkait aksesibilitas kekuasaan yang adil. Ketika seorang figur politik yang berkuasa menggunakan pengaruh, sumber daya, dan jejaring institusionalnya untuk memuluskan jalan bagi anggota keluarganya dalam ranah politik, maka terjadi distorsi terhadap prinsip meritokrasi. Calon-calon politik lain yang tidak memiliki afiliasi kekeluargaan dengan elite berkuasa akan mengalami kesulitan bersaing secara setara karena mereka tidak memiliki akses terhadap modal sosial, politik, dan ekonomi yang serupa.
Dampak dari politik dinasti tidak hanya bersifat individual, tetapi juga sistemik. Ketika struktur politik diisi oleh individu-individu dari keluarga atau kerabat penguasa, maka proses regenerasi kepemimpinan yang sehat menjadi terhambat. Politik menjadi arena eksklusif yang dikendalikan oleh segelintir kelompok, dan ini mengurangi keragaman ide serta menghambat pembaharuan kebijakan yang dibutuhkan untuk menanggapi tantangan zaman. Selain itu, politik dinasti seringkali dikaitkan dengan praktik patronase, nepotisme, dan bahkan korupsi, karena relasi kuasa yang bersifat personal menggantikan prinsip-prinsip objektif dan profesional dalam tata kelola pemerintahan.
Dalam konteks keadilan distributif dan keadilan prosedural seperti yang dikemukakan oleh John Rawls, praktik politik dinasti jelas bertentangan dengan asas keadilan. Menurut Rawls, keadilan yang sejati hanya dapat dicapai jika aturan-aturan dasar masyarakat dirancang di bawah veil of ignorance, yaitu dalam kondisi di mana tidak ada seorang pun mengetahui posisi sosial, kekayaan, atau atribut pribadi mereka. Jika para perancang sistem politik berada di balik veil of ignorance, sangat kecil kemungkinan mereka akan merancang sistem yang memungkinkan seseorang memperoleh keuntungan hanya karena memiliki hubungan darah dengan penguasa. Oleh karena itu, politik dinasti secara moral problematis karena tidak memenuhi prinsip fairness sebagaimana dirumuskan oleh Rawls.Dalam teori Rawls, hal ini secara langsung bertentangan dengan prinsip kesetaraan yang menjadi dasar keadilan. Rawls menyatakan bahwa keadilan mensyaratkan bahwa setiap individu memiliki peluang yang sama untuk meraih posisi sosial yang diinginkan (Rawls, 1971).
2. Analisis Veil of Ignorance dalam Konteks Kasus Jokowi-Gibran
Dalam posisi asli menurut Rawls, seseorang akan merancang prinsip keadilan tanpa mengetahui apakah dirinya akan lahir dalam keluarga presiden atau keluarga buruh. Maka dari itu, mereka akan memilih sistem yang tidak mengistimewakan siapa pun berdasarkan hubungan darah atau status sosial. Dalam kasus ini, jika Presiden Jokowi atau hakim MK mempertimbangkan veil of ignorance, maka mereka akan menolak untuk mengambil keputusan yang memberi keistimewaan kepada anggota keluarganya.
Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang membuka jalan bagi Gibran Rakabuming Raka untuk mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden dalam Pilpres 2024 menjadi titik kritis dalam diskursus keadilan politik di Indonesia. Putusan MK Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memperbolehkan seseorang di bawah usia 40 tahun mencalonkan diri sebagai calon presiden atau wakil presiden jika pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah, dinilai sarat dengan kepentingan politik. Yang lebih mengkhawatirkan, keputusan tersebut diketok oleh Anwar Usman, Ketua MK yang saat itu adalah ipar dari Presiden Joko Widodo dan paman dari Gibran sendiri. Hal ini mengindikasikan adanya konflik kepentingan langsung yang mencederai prinsip imparsialitas lembaga peradilan konstitusional (Kompas.com, 2023).
Dalam kerangka keadilan prosedural ala John Rawls, tindakan tersebut merupakan pelanggaran yang serius. Rawls menyatakan bahwa keadilan tidak hanya menyangkut hasil (outcome), tetapi juga sangat terkait dengan prosedur yang adil dan tidak memihak. Prinsip fairness menurut Rawls hanya bisa dijamin jika institusi sosial dan politik dijalankan secara objektif dan netral, serta dirancang seolah-olah oleh individu yang berada dalam posisi "veil of ignorance" — kondisi imajiner di mana para perancang tidak mengetahui posisi sosial dan kepentingan pribadi mereka (Rawls, 1971). Jika prinsip ini diterapkan, maka kebijakan atau putusan yang memberi keuntungan pada satu individu atau kelompok, terutama berdasarkan relasi kekeluargaan, tidak akan pernah dibenarkan secara moral.
Realitas ini menggambarkan bahwa veil of ignorance sebagai prinsip etis telah terkoyak. Lembaga hukum tertinggi yang seharusnya menjaga keadilan konstitusional justru terjebak dalam praktik-praktik politik dinasti yang menguntungkan kelompok tertentu. Ketika lembaga peradilan tunduk pada tekanan politik atau relasi kekeluargaan, maka keadilan sebagai fairness menjadi utopia belaka. Dalam perspektif Rawls, jika suatu sistem memungkinkan seseorang memanipulasi institusi demi kepentingan pribadi atau keluarga, maka sistem itu telah gagal memberikan "keuntungan yang adil" bagi semua warga negara, khususnya mereka yang berada dalam posisi paling tidak beruntung.
Kondisi ini juga menimbulkan preseden buruk bagi demokrasi Indonesia. Keadilan prosedural yang tercemar tidak hanya merusak legitimasi hukum, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap institusi negara. Di masa depan, tindakan seperti ini dapat membuka jalan bagi normalisasi praktik politik dinasti melalui jalur hukum yang direkayasa. Padahal, salah satu tujuan utama dari sistem demokrasi adalah menjamin bahwa semua warga negara memiliki akses yang adil terhadap kekuasaan tanpa harus bersaing secara tidak seimbang dengan individu yang memiliki privilese struktural atau hubungan keluarga dengan penguasa.
Keputusan tersebut bukan hanya menciptakan ketidakadilan dalam distribusi kesempatan politik, tetapi juga memperlemah kepercayaan publik terhadap lembaga hukum dan proses demokrasi. Dalam pandangan Rawls, masyarakat yang adil adalah masyarakat di mana struktur dasar politik dan sosial dirancang untuk mendukung dua prinsip utama: (1) kebebasan yang setara bagi semua warga negara dan (2) ketidaksetaraan hanya diperbolehkan jika menguntungkan bagi kelompok yang paling kurang beruntung (Rawls, 1971). Politik dinasti, dalam hal ini, justru menciptakan ketidaksetaraan baru yang menguntungkan segelintir elite.
3. Kritik terhadap Praktik Politik Jokowi dalam Perspektif Rawlsian
Sebagai presiden yang dipilih melalui mekanisme demokrasi, Jokowi semestinya memegang prinsip netralitas dan menjunjung tinggi nilai-nilai meritokrasi dalam proses politik. Namun kenyataannya, keberadaan anak dan kerabat dekat dalam posisi strategis politik menunjukkan preferensi personal dan afiliasi kekuasaan yang tidak selaras dengan prinsip moral dan keadilan Rawlsian.
Secara teori, John Rawls dalam A Theory of Justice menekankan bahwa keadilan bukan semata-mata berkaitan dengan kepatuhan terhadap hukum, melainkan tentang moralitas yang membentuk tatanan sosial dan politik yang adil. Keadilan bagi Rawls adalah fairness — sebuah prinsip yang menjamin bahwa semua individu memiliki kesempatan yang sama untuk meraih posisi dan keuntungan dalam masyarakat. Dengan kata lain, keadilan bukan hanya soal prosedur yang sah secara hukum, tetapi juga etis secara moral dan rasional jika dilihat dari posisi veil of ignorance, di mana semua aturan dibuat seolah-olah perancangnya tidak tahu akan menjadi siapa dalam masyarakat (Rawls, 1971).
Dalam konteks Indonesia, meski secara hukum tidak ada ketentuan eksplisit yang melarang anak presiden untuk mencalonkan diri dalam jabatan publik, pertanyaan etis dan moral tetap harus diajukan. Apakah seorang anak presiden yang mencalonkan diri, apalagi setelah ada keputusan MK yang menguntungkan dirinya, mencerminkan nilai fairness dalam demokrasi? Ataukah justru menunjukkan adanya privilege politik yang tidak dimiliki oleh warga negara lainnya? Dari sudut pandang Rawlsian, tindakan tersebut perlu diuji bukan hanya secara legal-formal, tetapi berdasarkan keadilan substantif: apakah semua orang benar-benar memiliki kesempatan yang sama, atau hanya mereka yang berasal dari lingkaran kekuasaan?
Rawls secara tegas menolak sistem yang memungkinkan keuntungan struktural turun-temurun yang hanya dinikmati oleh segelintir orang. Dalam difference principle-nya, Rawls mengatakan bahwa ketimpangan sosial hanya dapat dibenarkan jika membawa manfaat terbesar bagi mereka yang paling tidak beruntung dalam masyarakat (Rawls, 1971). Politik dinasti jelas bertentangan dengan prinsip ini karena memperkuat dominasi kekuasaan oleh kelompok tertentu dan mempersulit warga negara biasa untuk bersaing secara adil dalam gelanggang politik. Dalam kasus ini, pencalonan Gibran — dengan segala fasilitas dan struktur kekuasaan di belakangnya — tidak bisa dianggap sebagai ekspresi demokrasi yang setara, melainkan sebagai penguatan ketimpangan akses terhadap kekuasaan.
Lebih jauh lagi, Rawls mengingatkan bahwa keadilan sebagai fairness mensyaratkan bahwa lembaga-lembaga publik harus bekerja secara adil dan bebas dari kepentingan sempit. Ketika Mahkamah Konstitusi — institusi penjaga konstitusi — justru terlibat dalam keputusan yang berpotensi melanggengkan kekuasaan dinasti, maka krisis keadilan tidak hanya bersifat individu, tetapi institusional. Dalam kerangka Rawlsian, institusi yang adil seharusnya didesain untuk melindungi least advantaged, bukan memperkokoh posisi kelompok dominan melalui cara-cara terselubung. Hal ini menunjukkan pentingnya moralitas dalam merancang dan menjalankan kekuasaan, bukan hanya legalitas yang manipulatif.
Dalam konteks Indonesia, di mana demokrasi masih dalam proses konsolidasi, praktik semacam ini berpotensi merusak struktur sosial-politik yang adil. Ketika pengaruh kekuasaan digunakan untuk memuluskan jalan politik anggota keluarga, maka veil of ignorance telah dikoyak, dan prinsip-prinsip keadilan Rawlsian telah dikompromikan.
IV. Kesimpulan
Dari sudut pandang teori keadilan John Rawls, terutama prinsip veil of ignorance, praktik politik dinasti yang terjadi di era Presiden Jokowi, terutama terkait pencalonan Gibran Rakabuming Raka, merupakan bentuk ketidakadilan moral. Praktik ini tidak mencerminkan semangat kesetaraan kesempatan dan netralitas sistem hukum serta politik.
Dengan mempertimbangkan bahwa keadilan sebagai fairness harus didesain dari kondisi ketidaktahuan akan posisi sosial dan politik seseorang, maka praktik yang mengakomodasi keistimewaan berdasarkan kedekatan kekuasaan seperti yang terjadi dalam politik dinasti, jelas bertentangan dengan nilai-nilai dasar keadilan dalam teori Rawls. Oleh karena itu, diperlukan reformasi struktural dan etika dalam praktik politik nasional untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan dan memastikan setiap warga negara memiliki akses yang adil terhadap kekuasaan.
Referensi
Kompas.com. (2023, Oktober 16). Profil Anwar Usman, Ketua MK yang Putuskan Gibran Boleh Nyapres dan Ipar Jokowi. https://www.kompas.com/tren/read/2023/10/16/080000465/profil-anwar-usman-ketua-mk-yang-putuskan-gibran-boleh-nyapres-dan-ipar
Rawls, J. (1971). A Theory of Justice. Harvard University Press.
Rawls, J. (1993). Political Liberalism. Columbia University Press.
Tirto.id. (2023, Oktober 17). Putusan MK Soal Gibran: Peluang Politik Dinasti dan Krisis Etika Konstitusi. https://tirto.id/putusan-mk-soal-gibran-peluang-politik-dinasti-dan-krisis-etika-gXyT
Wahid, M. (2020). Keadilan Sosial dalam Perspektif Filsafat Politik John Rawls. Jurnal Filsafat, 30(2), 179–197. https://doi.org/10.22146/jf.52513
Kompas.com. (2023, Oktober 20). Putusan MK soal Gibran Langgar Etika, Dewan Etik MK Pecat Ketua MK. https://nasional.kompas.com/read/2023/10/20/19252391/putusan-mk-soal-gibran-langgar-etika-dewan-etik-mk-pecat-ketua-mk
Lubis, T. M. (2015). In Search of Human Rights: Legal-Political Dilemmas of Indonesia’s New Order 1966-1990. PT Gramedia Pustaka Utama.
Komentar
Posting Komentar