Kasih Kristiani dalam Perspektif Teologi dan Hukum Modern
Pendahuluan
Dalam konteks dunia modern yang ditandai oleh rasionalitas hukum dan sistem formal, konsep kasih — terutama kasih dalam Kekristenan — seringkali dianggap tidak relevan atau bahkan irasional. Padahal, dalam ajaran Yesus Kristus, kasih bukan hanya nilai moral utama, tetapi juga "hukum yang terutama" (Matius 22:37–40). Saya menulis ini bertujuan mengelaborasi relevansi kasih dalam Kekristenan dengan pendekatan lintas-disiplin antara teologi, hukum alam (natural law), dan hukum positif (positive law).
Kasih dalam ajaran Yesus bukanlah sekadar perasaan simpatik atau belas kasih semata, melainkan tindakan aktif yang berpihak pada kebaikan sesama manusia. Ajaran ini menekankan bahwa kasih harus diwujudkan dalam tindakan konkret yang mencerminkan belas kasih, pengampunan, dan keadilan. Salah satu bentuk paling radikal dari kasih ini adalah perintah untuk mengasihi musuh dan mendoakan mereka yang menganiaya (Matius 5:44), yang menunjukkan bahwa kasih melampaui batas emosi manusia biasa dan menjadi prinsip kehidupan yang universal.
Dalam kerangka hukum alam (natural law), kasih dapat dijelaskan secara rasional sebagai bagian dari kodrat manusia yang ditanamkan oleh Pencipta. Hukum alam tidak hanya berbicara tentang aturan moral yang bersifat tetap, tetapi juga mengakui bahwa manusia secara alami cenderung pada kebaikan dan keadilan. Oleh karena itu, kasih tidak bertentangan dengan akal, melainkan merupakan bagian inheren dari rasionalitas moral manusia yang diarahkan pada kesejahteraan bersama (common good).
Kasih juga dapat dianggap sebagai prinsip yang mengatur relasi antarindividu dalam masyarakat. Dalam konteks ini, kasih menjadi dasar yang rasional untuk tindakan sosial, seperti keadilan distributif dan keadilan komutatif. Pandangan ini selaras dengan pemikiran Thomas Aquinas, yang menyatakan bahwa hukum alam adalah partisipasi manusia dalam hukum ilahi dan kasih adalah manifestasi dari partisipasi tersebut dalam tindakan nyata.
Di sisi lain, hukum positif yang bersifat formalistik dan prosedural tampak seolah-olah bertentangan dengan nilai-nilai kasih. Hukum positif sering dipandang tidak peduli pada motivasi dan konteks moral di balik tindakan manusia, melainkan hanya fokus pada legalitas. Namun, dalam praktik modern, hukum positif mulai membuka ruang bagi nilai-nilai kemanusiaan dan kasih, terutama melalui pendekatan keadilan restoratif yang tidak hanya menghukum tetapi juga memulihkan hubungan sosial dan martabat korban serta pelaku.
Pendekatan ini tampak dalam berbagai regulasi kontemporer, seperti peradilan anak dan sistem mediasi penal, yang lebih mengedepankan dialog, empati, dan tanggung jawab moral daripada pembalasan semata. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kasih tidak hanya bersifat teologis atau spiritual, melainkan juga rasional dan operasional dalam konteks hukum modern yang berkeadilan dan berbelas kasih.
Permasalahan yang hendak dijawab dalam tulisan ini adalah: Apakah kasih dalam Kekristenan relevan? Untuk menjawabnya, tulisan ini akan membahas tiga hal utama: (1) konsep kasih dalam ajaran Yesus, (2) rasionalitas kasih menurut teori hukum alam, dan (3) integrasi kasih dalam sistem hukum positif modern.
Permasalahan
Masalah utama yang diangkat adalah:
-
Bagaimana kasih dalam Kekristenan didefinisikan dalam konteks ajaran Yesus?
-
Apakah kasih dapat dipahami secara rasional dalam kerangka hukum alam?
-
Apakah mungkin kasih diintegrasikan dalam sistem hukum positif yang berlaku saat ini?
-
Apakah kasih masih relevan dalam masyarakat dan sistem hukum kontemporer?
Pembahasan
1. Kasih dalam Ajaran Yesus
Kasih dalam Kekristenan bukanlah emosi pasif, melainkan tindakan aktif dan radikal. Ajaran Yesus tentang kasih mencakup dua hal utama: kasih kepada Allah dan kasih kepada sesama (Matius 22:37-40, NIV). Kasih bahkan diperluas untuk mencakup musuh: "Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu" (Matius 5:44, NIV). Kasih seperti ini bersifat universal, melampaui batas suku, agama, dan status sosial.
C.S. Lewis (1960) dalam The Four Loves membagi kasih menjadi empat bentuk: storge (kasih keluarga), philia (kasih persahabatan), eros (kasih romantik), dan agape (kasih ilahi). Di antara keempatnya, agape dianggap sebagai bentuk kasih tertinggi dalam Kekristenan karena bersifat tanpa syarat, penuh pengorbanan, dan tidak mengharapkan balasan. Kasih agape adalah kasih yang diwujudkan Allah kepada manusia melalui penebusan, dan menjadi teladan utama dalam kehidupan Yesus Kristus. Dalam Matius 5:44, Yesus menegaskan bahwa kasih ini mencakup musuh dan mereka yang menganiaya, menjadikannya sebagai tindakan radikal yang melampaui naluri manusiawi biasa.
Dalam konteks teologi moral, kasih agape bukan hanya tindakan spiritual, melainkan juga merupakan prinsip etis yang membentuk karakter individu dan komunitas. Agape menuntut tanggung jawab aktif dalam memperjuangkan kebaikan sesama, bahkan di tengah penderitaan atau pengorbanan diri. Itulah sebabnya agape bukan sekadar emosi, melainkan komitmen moral yang mendalam dan berjangka panjang. Dalam kehidupan bermasyarakat, prinsip agape dapat menjadi penuntun untuk membangun solidaritas sosial, mendorong sikap empatik, dan memperkuat relasi antarwarga negara.
Relevansi kasih agape dalam konteks hukum dapat ditemukan dalam pergeseran paradigma hukum dari pendekatan retributif ke restoratif. Hukum yang berlandaskan pada kasih agape tidak sekadar menghukum pelanggaran, tetapi juga berupaya memulihkan martabat korban, menumbuhkan pertobatan pada pelaku, dan merekonstruksi hubungan sosial yang rusak. Ini tercermin dalam praktik-praktik seperti mediasi penal, pengampunan hukum, atau program diversion dalam peradilan anak. Di sini, hukum tidak kehilangan otoritasnya, namun menjadi lebih manusiawi karena didasarkan pada nilai kasih.
Dalam kerangka hukum alam, agape juga memiliki tempat penting. Agape bukanlah kasih yang irasional, tetapi justru merupakan bentuk kasih yang sejalan dengan rasionalitas moral tertinggi. Thomas Aquinas menyatakan bahwa hukum alam adalah partisipasi manusia dalam hukum ilahi, dan kasih — terutama kasih agape — merupakan perwujudan hukum ilahi itu sendiri dalam tindakan manusia. Dalam hal ini, kasih agape adalah tindakan rasional yang sesuai dengan akal budi manusia yang diarahkan kepada kebaikan bersama (common good), sebagaimana ditegaskan pula oleh John Finnis (2011) dalam Natural Law and Natural Rights.
Akhirnya, integrasi nilai agape dalam hukum positif merupakan langkah strategis menuju keadilan yang lebih substantif. Agape dapat menjadi dasar normatif bagi kebijakan publik yang berpihak pada kaum lemah, korban kekerasan, dan kelompok termarjinalkan. Dengan mengadopsi kasih sebagai nilai hukum, negara tidak hanya menjalankan tugas legal-formal, tetapi juga menjadi pelayan keadilan yang berwelas asih. Maka, dalam dunia hukum yang cenderung kaku dan prosedural, kasih agape menawarkan napas baru yang membumikan hukum dalam semangat kemanusiaan yang transformatif.
2. Rasionalitas Kasih Menurut Hukum Alam
Teori hukum alam menyatakan bahwa ada hukum moral yang bersifat universal dan dapat diketahui melalui akal budi. Thomas Aquinas (Summa Theologiae, I-II, Q.91–95) menjelaskan bahwa hukum alam adalah partisipasi manusia dalam hukum ilahi (lex divina). Hukum ini menanamkan prinsip-prinsip dasar dalam hati nurani, seperti kebaikan harus dilakukan dan kejahatan harus dihindari.
Dalam konteks ini, kasih memiliki legitimasi rasional sebagai bagian dari hukum moral yang melekat dalam kodrat manusia. Ia bukan sekadar emosi atau kepercayaan religius, melainkan prinsip yang muncul dari pemahaman rasional akan keadilan dan kebaikan bersama.
Kasih, menurut Aquinas, bukan hanya hasil dari kehendak baik, melainkan wujud nyata dari akal budi manusia yang diarahkan untuk mencintai sesama seperti mencintai diri sendiri. Oleh karena itu, kasih dapat dimaknai sebagai cermin dari kapasitas manusia untuk bertindak secara moral dan bertanggung jawab.
Finnis (2011), dalam karyanya Natural Law and Natural Rights, mengembangkan pemikiran ini dengan menegaskan bahwa kasih merupakan ekspresi dari "common good" yang menjadi orientasi utama dalam kehidupan bermasyarakat. Kasih, dalam hal ini, menjadi prinsip normatif yang memungkinkan kerja sama sosial dan keteraturan moral.
Kasih juga berperan dalam membentuk solidaritas sosial. Dalam komunitas yang menjunjung nilai kasih, relasi antarindividu tidak hanya diatur oleh kontrak sosial atau kepentingan hukum semata, melainkan oleh kepedulian dan tanggung jawab satu sama lain.
Oleh sebab itu, dalam kerangka hukum alam, kasih bukanlah hal yang bertentangan dengan nalar, melainkan merupakan puncak dari rasionalitas etis manusia. Ia menjadi jembatan antara keyakinan religius dan nilai-nilai universal yang dapat diterima secara rasional oleh semua orang.
3. Kasih dalam Hukum Positif
Hukum positif adalah hukum yang dibuat oleh lembaga yang berwenang dan diberlakukan secara formal. Meskipun tampak formalistik, dalam praktiknya hukum positif dapat menyerap nilai-nilai moral dan kasih, terutama melalui pendekatan restorative justice.
Prinsip kasih dalam hukum positif, khususnya dalam sistem peradilan pidana, mulai mendapat pengakuan yang lebih besar dalam praktik hukum kontemporer. Salah satu contoh nyata adalah Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA). Peraturan ini mengakui bahwa anak yang berkonflik dengan hukum bukan hanya subjek yang harus dihukum, tetapi juga harus dilihat sebagai individu yang dapat diperbaiki dan dibina. Pendekatan ini menekankan pada pendidikan dan pemulihan, bukan sekadar penghukuman. Dengan kata lain, hukum tidak hanya menekankan pembalasan tetapi juga penegakan nilai kasih yang mengarah pada pemulihan dan reintegrasi sosial. Ini mencerminkan penerapan kasih sebagai bentuk pengampunan dan pembimbingan yang bertujuan pada perbaikan moral anak tersebut.
Penerapan prinsip kasih dalam konteks ini bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi pelaku yang masih muda untuk belajar dari kesalahan mereka dan memperbaiki diri, serta memberi mereka kesempatan untuk kembali ke masyarakat dengan nilai-nilai yang lebih baik. Pendekatan ini tidak hanya menghukum, tetapi juga memberikan harapan dan kesempatan kedua bagi anak-anak yang telah melanggar hukum. Dengan demikian, prinsip kasih yang diajarkan dalam ajaran Yesus, yang mengutamakan pengampunan dan pemulihan, tercermin dalam upaya hukum untuk memperbaiki, bukan hanya menghukum. Hal ini menunjukkan bahwa kasih dalam konteks hukum tidak melulu bersifat reaktif, tetapi juga proaktif untuk menciptakan perubahan positif.
Selain itu, prinsip kasih juga tercermin dalam penggunaan mekanisme hukum lain seperti grasi, amnesti, dan rehabilitasi. Grasi dan amnesti memberikan kesempatan kepada individu yang telah dihukum untuk mendapat pengampunan atas perbuatan mereka, berdasarkan pertimbangan tertentu yang menyangkut kemanusiaan, rasa kasihan, atau pertimbangan moral. Ini tidak hanya mengurangi hukuman, tetapi juga menunjukkan penerimaan kembali individu ke dalam masyarakat setelah proses refleksi dan perbaikan. Prinsip kasih di sini berfungsi untuk menegakkan keadilan dengan memberikan kesempatan bagi mereka yang telah menunjukkan penyesalan dan usaha untuk berubah.
Rehabilitasi, baik dalam sistem peradilan pidana maupun dalam konteks penanganan pecandu narkoba atau pelaku tindak pidana lainnya, juga merupakan bentuk nyata penerapan kasih dalam hukum. Proses rehabilitasi berfokus pada pemulihan fisik dan psikologis pelaku, dengan tujuan agar mereka dapat kembali hidup secara produktif dalam masyarakat. Pendekatan ini menekankan pemulihan atas martabat manusia, bukan sekadar penegakan hukuman yang keras dan tanpa empati. Di sini, kasih tidak hanya dipahami sebagai emosi atau pengampunan, tetapi sebagai upaya nyata untuk memberikan individu kesempatan kedua dalam hidup mereka.
Di sisi lain, advokasi hukum untuk kelompok rentan, seperti perempuan, anak, dan kelompok minoritas, juga menunjukkan penerapan prinsip kasih dalam konteks hukum positif. Melalui advokasi ini, hukum memberikan perlindungan kepada mereka yang tidak mampu membela diri sendiri, seperti yang tercermin dalam Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Advokasi hukum yang berfokus pada perlindungan hak-hak individu, terutama bagi yang terpinggirkan, adalah manifestasi dari kasih yang menuntut keadilan bagi mereka yang terabaikan dan tertindas.
Secara keseluruhan, penerapan prinsip kasih dalam hukum positif tidak hanya memberikan landasan moral yang lebih humanis, tetapi juga memungkinkan sistem hukum menjadi lebih berbelas kasih dan berpihak pada kemanusiaan. Dengan mengintegrasikan prinsip kasih dalam kebijakan hukum, hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat pembatas, tetapi juga sebagai alat pembebasan, pemulihan, dan pemberdayaan. Kasih yang diajarkan oleh Yesus Kristus, yang mencakup pengampunan, pemulihan, dan pemahaman terhadap sesama, dapat menjadi landasan kuat bagi sistem hukum yang lebih manusiawi dan berkeadilan. Sebagai langkah menuju keadilan yang lebih holistik, hukum perlu terus mengakomodasi nilai-nilai kasih yang memungkinkan individu untuk tidak hanya dihukum, tetapi juga untuk diberdayakan dan dipulihkan dalam masyarakat.
4. Relevansi Kasih dalam Dunia Kontemporer
Di tengah kompleksitas sosial yang semakin berkembang, ketimpangan yang terus terjadi, dan meningkatnya kekerasan dalam berbagai aspek kehidupan, kasih tetap menjadi solusi moral dan sosial yang fundamental. Ajaran kasih yang diajarkan oleh banyak agama, termasuk Kekristenan, mengajarkan pentingnya belas kasihan, pengampunan, dan pemulihan. Dalam konteks hukum, kasih bukanlah konsep yang terpisah dari aspek hukum yang lebih teknis atau legalistik, melainkan sebuah kekuatan yang dapat melampaui batasan-batasan hukum yang kaku dan menawarkan alternatif yang lebih manusiawi. Di sinilah kasih berperan penting, tidak hanya sebagai nilai moral, tetapi sebagai solusi praktis yang dapat mengurangi ketegangan sosial dan mendorong terciptanya keadilan yang lebih inklusif.
Penerapan kasih dalam sistem hukum positif modern dapat dilihat dalam beberapa program yang secara khusus dirancang untuk memberikan perhatian lebih kepada individu yang berkonflik dengan hukum, bukan hanya sebagai subjek yang harus dihukum, tetapi juga sebagai individu yang berpotensi untuk pulih dan kembali ke masyarakat dengan lebih baik. Salah satu contoh penting dari penerapan kasih dalam hukum adalah program diversion. Program ini bertujuan untuk mengalihkan proses hukum dari jalur peradilan biasa kepada alternatif penyelesaian seperti mediasi atau rehabilitasi. Diversion memberikan kesempatan kepada pelaku tindak pidana, khususnya anak-anak atau pelaku dengan latar belakang sosial-ekonomi yang sulit, untuk memperbaiki diri tanpa harus menjalani proses hukuman yang keras. Di sini, kasih berfungsi untuk memberikan kesempatan bagi pemulihan dan perbaikan, sesuai dengan prinsip bahwa setiap individu memiliki kesempatan untuk berubah.
Mediasi penal adalah contoh lain dari penerapan kasih dalam hukum. Dalam mediasi penal, pihak-pihak yang terlibat dalam suatu kasus pidana, baik korban maupun pelaku, diberikan kesempatan untuk berdialog dan menyelesaikan masalah secara damai tanpa melalui proses pengadilan formal. Pendekatan ini mengutamakan pemulihan hubungan antara korban dan pelaku, serta memberikan ruang untuk pemulihan secara emosional dan sosial bagi kedua belah pihak. Kasih dalam konteks mediasi penal memungkinkan para pihak untuk memahami sisi kemanusiaan masing-masing dan berusaha mencari solusi yang adil dan penuh belas kasih. Mediasi ini tidak hanya menyelesaikan konflik, tetapi juga memfasilitasi pembelajaran tentang empati, pengampunan, dan pemulihan.
Keadilan restoratif, yang semakin populer dalam sistem hukum modern, juga mencerminkan penerapan kasih yang mendalam dalam proses peradilan. Keadilan restoratif berfokus pada penyembuhan luka-luka sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana, dengan melibatkan korban, pelaku, dan komunitas dalam proses penyelesaian yang adil. Di dalamnya, kasih berperan sebagai kekuatan untuk memperbaiki hubungan yang rusak dan mengembalikan martabat para pihak yang terlibat. Dalam keadilan restoratif, kasih bukan hanya berarti pengampunan, tetapi juga pengakuan bahwa setiap individu, baik pelaku maupun korban, memiliki hak untuk dihormati dan diperlakukan dengan adil. Ini adalah pendekatan yang lebih holistik, yang berusaha tidak hanya untuk menghukum, tetapi untuk memulihkan kondisi sosial dan emosional dari mereka yang terlibat dalam tindak pidana.
Penerapan kasih dalam program-program seperti diversion, mediasi penal, dan keadilan restoratif menunjukkan bahwa hukum tidak hanya dapat berfungsi sebagai alat untuk membalas perbuatan buruk, tetapi juga sebagai alat untuk menyembuhkan dan memperbaiki. Kasih dalam hukum positif modern membawa pemahaman bahwa keadilan sejati bukan hanya tentang penghukuman, tetapi juga tentang pemulihan martabat dan kesempatan untuk berubah. Ini menggambarkan bahwa hukum dapat beroperasi dalam semangat yang lebih manusiawi, dengan mempertimbangkan konteks sosial, emosional, dan psikologis dari setiap individu yang terlibat dalam sistem peradilan.
Sebagai panggilan moral yang relevan di tengah dunia yang semakin keras dan penuh ketidakpastian, kasih tidak kehilangan daya gugahnya. Sebaliknya, kasih dalam Kekristenan dan ajaran-ajaran moral lainnya menjadi panggilan yang sangat penting untuk mengembalikan wajah manusiawi dalam sistem hukum. Kasih mengingatkan kita bahwa setiap individu, terlepas dari kesalahan mereka, tetap memiliki nilai dan martabat yang perlu dihormati. Dalam dunia yang sering kali didominasi oleh hukum yang keras dan ketegasan yang tidak menunjukkan belas kasih, kasih dalam hukum berfungsi sebagai kontras yang memberi harapan bahwa hukum dapat menjadi instrumen yang membawa pemulihan, pengampunan, dan perubahan positif dalam kehidupan manusia.
Penutup
Kasih dalam Kekristenan bukan sekadar nilai spiritual, melainkan norma moral yang memiliki dimensi rasional dan universal. Dalam perspektif hukum alam, kasih adalah prinsip yang melekat pada kodrat manusia. Dalam praktik hukum positif, kasih dapat diintegrasikan melalui pendekatan yang mengedepankan keadilan restoratif dan perlindungan terhadap martabat manusia.
Oleh karena itu, kasih dalam Kekristenan tetap relevan — tidak hanya sebagai prinsip etika pribadi, tetapi juga sebagai dasar moral bagi pembentukan hukum yang adil dan manusiawi. Integrasi kasih dalam sistem hukum adalah langkah penting menuju peradaban hukum yang bermartabat dan berbelas kasih.
Daftar Pustaka
-
Aquinas, Thomas. Summa Theologiae, I-II, Q.91–95.
-
Finnis, John. (2011). Natural Law and Natural Rights. Oxford University Press.
-
Lewis, C.S. (1960). The Four Loves. HarperCollins.
-
Rawls, John. (1971). A Theory of Justice. Harvard University Press.
-
Undang-Undang No. 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
-
The Holy Bible, New International Version (NIV).
Komentar
Posting Komentar