YOLO, YOPO, FOMO

Hidup di zaman sekarang adalah hidup dalam sorotan. Sorotan orang lain, sorotan media sosial, bahkan sorotan ekspektasi kita sendiri yang terus membesar. Di antara hiruk pikuk itu, tiga istilah sering muncul dan membentuk pola pikir generasi hari ini: YOLO (You Only Live Once), YOPO (You Only Post Once), dan FOMO (Fear of Missing Out).

Ketiganya bukan hanya sekadar tren bahasa, tapi mencerminkan cara kita memaknai eksistensi, memilih keputusan, dan mencari tempat dalam kehidupan sosial. Saya menulis ini sebagai bentuk refleksi dari pergulatan pribadi—seorang anak muda, dosen pemula, dan manusia biasa yang kadang terlalu keras pada dirinya sendiri karena merasa harus “ikut berlari”.

“You only live once.” Kalimat ini dulunya adalah penyemangat. Ia mengajak kita untuk berani mencoba, melawan ketakutan, dan keluar dari zona nyaman. Namun lama-kelamaan, YOLO berubah menjadi tekanan. Seolah-olah jika saya tidak melakukan banyak hal besar—pergi ke luar negeri, sekolah S3 cepat, beli rumah sebelum usia 30—maka saya gagal memanfaatkan hidup yang cuma satu kali ini.

Sebagai seorang dosen muda dari latar belakang keluarga sederhana, prinsip YOLO pernah mendorong saya ke titik ambisi yang berlebihan. Saya ingin membuktikan diri, ingin bergerak cepat, ingin "tidak ketinggalan" dari teman-teman. Tapi dalam diam saya sering kelelahan. Tubuh dan pikiran saya menjerit, tetapi YOLO berkata, “Ayo, kamu hanya hidup sekali. Maksimalkan!”

Padahal, hidup tidak harus selalu spektakuler untuk menjadi bermakna. Kadang makna justru hadir dalam kesederhanaan: dalam mengajar mahasiswa di kota kecil, dalam membantu orang tua, atau sekadar beristirahat tanpa rasa bersalah.

“You only post once.” Di media sosial, terutama Instagram atau TikTok, satu postingan seolah menentukan citra diri kita. Ada tekanan untuk memilih foto terbaik, caption paling menyentuh, filter yang pas, dan waktu unggah yang strategis agar jangkauan maksimal. Satu momen di dunia nyata harus dikurasi sedemikian rupa agar terlihat layak dibagikan.

Saya juga pernah terjebak dalam fase ini. Ketika saya berhasil meraih sesuatu, saya berpikir keras: Posting gak ya? Apa nanti dibilang pamer? Tapi kalau gak posting, orang gak tahu perjuanganku. Bahkan keberhasilan pribadi pun rasanya kurang lengkap jika tak terlihat oleh orang lain.

YOPO membuat kita takut tampak “biasa”. Padahal, yang luar biasa itu seringkali justru terjadi saat tak ada yang menonton. Ketika kita belajar hingga larut malam, membantu orang tua tanpa dokumentasi, atau bangkit dari kegagalan secara diam-diam.

FOMO adalah ketakutan yang sangat manusiawi: takut ketinggalan. Takut tak hadir di acara, takut tak tahu tren, takut terlambat sukses. Di usia pertengahan dua puluhan, saya melihat banyak teman menikah, punya anak, punya rumah, punya gelar lanjutan. Sebagai manusia biasa, saya pun pernah merasa kecil.

Di balik rasa takut itu, saya menyadari sesuatu: FOMO bukan hanya tentang ketertinggalan dari orang lain, tapi juga tentang kebingungan terhadap arah kita sendiri. Kita takut ketinggalan karena kita belum benar-benar yakin ke mana kita ingin pergi. Kita iri melihat pencapaian orang lain karena kita belum selesai dengan pertanyaan mendasar: Apa arti “cukup” dan “berhasil” untuk saya?

Jika YOLO mengajarkan bahwa hidup hanya sekali, maka saya ingin hidup sekali ini dijalani dengan sadar. Jika YOPO membuat saya memilih unggahan dengan hati-hati, maka saya ingin unggahan itu mencerminkan kebenaran, bukan pencitraan. Dan jika FOMO membuat saya gelisah, maka saya ingin mengubahnya menjadi FOMO: Finding Our Meaning Out there—menemukan makna, bukan sekadar ikut ramai.

Kita tidak harus hebat di mata semua orang. Kita hanya perlu menjadi cukup di mata diri sendiri, dan itu sudah sangat berharga.


Komentar

Postingan Populer