Beropini - Putusan MK No.60/PUU-XXII/2024 & Politik Dinasti

 

Disclaimer: Tulisan ini merupakan opini pribadi penulis dan disusun berdasarkan pandangan serta interpretasi terhadap isu-isu terhadap statusquo. Tulisan ini tidak dimaksudkan sebagai suatu karya ilmiah dan tidak mencerminkan hasil penelitian akademis. Setiap pandangan yang diungkapkan di sini bersifat subjektif dan tidak mewakili pandangan institusi atau organisasi mana pun. Pembaca diharapkan untuk mengambil bagian-bagian yang relevan sesuai dengan pemahaman dan interpretasi masing-masing.

Pada tanggal 21 Agustus 2024, Indonesia digemparkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang seharusnya bersifat final dan mengikat, namun kali ini menghadapi tantangan serius dari institusi legislatif. Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah, serta Putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024 yang menetapkan usia minimal 30 tahun untuk calon gubernur dan wakil gubernur saat penetapan calon, menjadi sorotan utama. Isu ini semakin memanas ketika putusan tersebut dikaitkan dengan Kaesang Pangarep, putra Presiden Joko Widodo, yang berencana maju dalam Pilkada 2024.

Keputusan DPR untuk menganulir putusan MK melalui rancangan undang-undang (RUU) baru yang justru mengacu pada putusan Mahkamah Agung (MA) sebelumnya, yang menguntungkan Kaesang dengan kriteria umur 30 tahun saat pelantikan, menambah kompleksitas masalah ini. Banyak yang melihat tindakan ini sebagai upaya melanggengkan politik dinasti, sebuah fenomena yang semakin nyata dalam lanskap politik Indonesia, dan membuat masyarakat geram, termasuk saya. Dalam esai ini, saya akan mengupas dampak dari putusan MK ini, implikasinya terhadap demokrasi, serta bagaimana politik dinasti merusak prinsip meritokrasi yang seharusnya menjadi landasan utama dalam proses politik di Indonesia.

Putusan MK No. 60/PUU-XXII/2024 mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah. Sebelumnya, partai politik atau gabungan partai politik harus memiliki persentase kursi atau suara tertentu di DPRD untuk mencalonkan seseorang sebagai kepala daerah. Dengan putusan ini, MK mencoba untuk memperluas peluang bagi calon independen dan meminimalisir monopoli partai politik dalam proses pencalonan.

Namun, ketika keputusan ini ditafsirkan dalam konteks ambisi politik Kaesang Pangarep, banyak yang melihatnya sebagai langkah untuk menghalangi potensi politik dinasti yang semakin kuat di Indonesia. Keputusan ini mendapat dukungan dari mereka yang menginginkan demokrasi yang lebih inklusif dan kompetitif, namun juga menimbulkan pertanyaan tentang independensi MK dalam membuat keputusan yang tidak dipengaruhi oleh tekanan politik.

Putusan MK No. 70/PUU-XXII/2024 menetapkan usia minimal 30 tahun bagi calon gubernur dan wakil gubernur saat penetapan calon, menggantikan putusan sebelumnya yang memperbolehkan usia minimal 30 tahun saat pelantikan. Putusan ini seakan menutup pintu bagi Kaesang yang masih berusia di bawah 30 tahun pada saat penetapan calon, namun akan memenuhi syarat usia saat pelantikan.

Namun, perkembangan terbaru menunjukkan adanya gesekan antara lembaga negara. Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR. Berdasarkan putusan MA, calon gubernur harus berusia minimal 30 tahun dan calon wakil gubernur 25 tahun saat pelantikan, sesuai dengan Peraturan KPU RI (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020. Hal ini berarti Baleg secara langsung mengabaikan putusan MK yang menetapkan usia minimal pada saat penetapan calon. Penetapan calon dijadwalkan pada 22 September 2024, sedangkan Kaesang baru akan berusia 30 tahun pada 25 Desember 2024.

Langkah ini oleh banyak pihak dilihat sebagai upaya untuk membuka jalan bagi pencalonan Kaesang, meskipun jelas-jelas bertentangan dengan keputusan MK. Tindakan Baleg ini memperkuat dugaan bahwa keputusan politik di Indonesia sering kali tidak bebas dari pengaruh kekuasaan dan kepentingan dinasti.

Politik dinasti, di mana kekuasaan politik dikendalikan oleh sekelompok keluarga tertentu, telah menjadi isu yang sangat sensitif di Indonesia. Dengan munculnya Gibran Rakabuming Raka sebagai wakil presiden yang diuntungkan oleh putusan MK sebelumnya terkait usia calon wakil presiden, dan kini Kaesang yang berusaha menapaki jejak politik serupa, banyak yang mempertanyakan masa depan demokrasi Indonesia.

Politik dinasti tidak hanya merusak sistem meritokrasi, di mana seharusnya individu dipilih berdasarkan kemampuan dan kualifikasi mereka, tetapi juga menciptakan kesenjangan kekuasaan yang semakin melebar. Dengan kekuasaan yang terkonsentrasi dalam keluarga tertentu, akses ke jabatan politik menjadi terbatas, yang pada akhirnya merusak prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya menjamin partisipasi politik yang adil dan merata.

Lebih jauh, politik dinasti juga menciptakan perasaan ketidakadilan di kalangan masyarakat. Ketika posisi kekuasaan hanya diisi oleh mereka yang memiliki koneksi keluarga, kepercayaan publik terhadap sistem politik menurun. Masyarakat mulai merasa bahwa proses politik sudah tidak lagi berfungsi sebagai mekanisme untuk memilih pemimpin terbaik, melainkan sebagai alat untuk mempertahankan kekuasaan dalam lingkaran keluarga tertentu.

Tidak mengherankan jika masyarakat bereaksi keras terhadap fenomena ini. Kegeraman terhadap politik dinasti mencerminkan ketidakpuasan yang mendalam terhadap arah politik Indonesia saat ini. Masyarakat merasa bahwa demokrasi, yang seharusnya menjadi alat untuk mencapai pemerintahan yang baik dan adil, telah diselewengkan oleh kepentingan segelintir elite politik.

Di media sosial, banyak yang mengecam langkah DPR untuk menganulir putusan MK dan menyebutnya sebagai upaya terang-terangan untuk melanggengkan kekuasaan keluarga Jokowi. Beberapa pihak bahkan menyerukan aksi protes dan meminta agar proses legislasi yang melibatkan kepentingan pribadi seperti ini dihentikan.

Sebagai bagian dari masyarakat yang peduli terhadap masa depan demokrasi Indonesia, saya merasa geram dengan perkembangan ini. Politik dinasti tidak hanya merusak demokrasi, tetapi juga menghambat kemajuan sistem meritokrasi yang mulai progresif di Indonesia. Kita seharusnya hidup dalam sebuah sistem di mana siapa pun yang memiliki kompetensi dan komitmen dapat berpartisipasi dalam politik, bukan hanya mereka yang memiliki hubungan keluarga dengan pemimpin yang sedang berkuasa.

Lebih dari itu, saya juga prihatin dengan upaya DPR untuk mengabaikan putusan MK yang seharusnya bersifat final dan mengikat. Tindakan ini menciptakan preseden berbahaya di mana keputusan hukum dapat diubah hanya karena tidak menguntungkan pihak tertentu. Jika ini dibiarkan, maka kita sedang membuka pintu bagi politik yang sepenuhnya didorong oleh kepentingan pribadi dan kelompok, bukan oleh kepentingan rakyat.

Untuk menjaga masa depan demokrasi, kita harus berdiri teguh melawan segala bentuk ketidakadilan, termasuk politik dinasti yang merongrong sistem meritokrasi. Perjuangan ini bukan hanya tentang menolak kekuasaan yang disalahgunakan, tetapi juga tentang memastikan bahwa suara dan aspirasi setiap warga negara dihargai dan diperjuangkan. Jangan biarkan demokrasi kita tercemari oleh kepentingan pribadi; jadikan suara kita sebagai pengingat bahwa kekuasaan sejati berasal dari rakyat, dan untuk rakyat. Hanya dengan keberanian kolektif, kita dapat membangun Indonesia yang lebih adil, merata, dan berintegritas.

Komentar

Postingan Populer