Homosexuality in Humans Between Evolution and Christian Theology

Pendahuluan

Fenomena homoseksualitas telah lama menjadi bagian dari keberagaman perilaku manusia, dan menariknya, perilaku ini tidak eksklusif ditemukan pada Homo sapiens. Studi-studi biologi perilaku menunjukkan bahwa lebih dari 1.500 spesies hewan memperlihatkan perilaku homoseksual, baik dalam bentuk ketertarikan seksual, ikatan emosional, maupun praktik kawin sesama jenis (Bagemihl, 1999). Dalam banyak kasus, perilaku ini bukanlah anomali, melainkan bagian dari dinamika sosial yang berperan dalam kohesi kelompok atau pengasuhan kolektif. Fakta ini membuka diskusi penting bahwa homoseksualitas bukanlah penyimpangan alamiah, melainkan bagian dari spektrum perilaku biologis yang lebih luas.

Dalam konteks manusia, homoseksualitas tidak dapat dilepaskan dari identitas pribadi, ekspresi gender, dan relasi sosial. Di berbagai masyarakat, orientasi seksual telah menjadi bagian dari konstruksi identitas individu yang dilindungi oleh prinsip-prinsip hak asasi manusia. Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia menekankan bahwa setiap individu berhak atas kebebasan berpikir, berekspresi, dan hidup tanpa diskriminasi atas dasar apapun, termasuk orientasi seksual (United Nations, 1948). Namun, di sejumlah wilayah, homoseksualitas masih dianggap tabu bahkan ilegal, menciptakan kesenjangan antara pengakuan ilmiah dan penerimaan sosial.

Sebagian besar resistensi terhadap homoseksualitas dalam masyarakat modern berakar pada pengaruh agama dan moralitas tradisional. Dalam konteks Kekristenan, berbagai teks Kitab Suci telah dijadikan dasar normatif untuk menolak homoseksualitas. Ayat-ayat seperti Imamat 18:22 dan Roma 1:26-27 sering dikutip untuk memperkuat posisi teologis yang menganggap homoseksual sebagai penyimpangan dari kehendak Allah. Akan tetapi, pemahaman terhadap ayat-ayat ini tidak lepas dari konteks historis dan kultural saat teks tersebut ditulis, yang sering kali berbeda dengan kondisi dan pemahaman masa kini (Brownson, 2013).

Pertanyaannya kemudian muncul: apakah homoseksualitas memang bertentangan dengan kodrat biologis manusia, ataukah hanya bertentangan dengan nilai-nilai yang dibentuk oleh sistem budaya dan tafsir keagamaan tertentu? Sains modern menunjukkan bahwa homoseksualitas memiliki dasar biologis dan neurologis, termasuk kemungkinan peran genetik, hormon prenatal, dan struktur otak (LeVay, 2010). Jika demikian, maka larangan terhadap homoseksualitas mungkin lebih bersifat sosiokultural dibandingkan biologis, dan lebih tepat dipahami dalam kerangka interpretasi sosial daripada kebenaran mutlak.

Dalam dunia akademik, pendekatan terhadap homoseksualitas telah bergeser dari paradigma patologis menuju paradigma keberagaman manusia. Asosiasi Psikologi Amerika (APA) secara resmi menyatakan bahwa homoseksualitas bukanlah penyakit mental sejak tahun 1973, dan bahwa diskriminasi terhadap individu LGBT+ berdampak negatif terhadap kesehatan mental dan kesejahteraan mereka (APA, 2008). Dengan demikian, sikap ilmiah modern mendorong penerimaan dan perlindungan terhadap minoritas seksual sebagai bagian dari hak hidup bermartabat.

Oleh karena itu, tulisan ini mencoba mengeksplorasi lebih dalam bagaimana homoseksualitas dipahami dalam dua dunia yang sering dianggap bertolak belakang: dunia sains evolusioner dan dunia iman Kristen. Dengan pendekatan interdisipliner, tulisan ini akan menelusuri keberadaan homoseksualitas dalam Homo sapiens secara ilmiah, serta mengulas bagaimana Kekristenan—melalui teks, tafsir, dan konteks sejarah—memberi tanggapan terhadap realitas ini. Tujuannya adalah membangun jembatan pemahaman antara iman dan ilmu, serta mendorong refleksi yang inklusif dalam menghadapi keragaman manusia.

Homoseksualitas dalam Perspektif Biologis dan Evolusi

Homoseksualitas, yang didefinisikan sebagai ketertarikan emosional, romantis, atau seksual terhadap individu dengan jenis kelamin yang sama, telah diamati dalam lebih dari 1.500 spesies hewan (Bagemihl, 1999). Dalam Homo sapiens, homoseksualitas dipahami sebagai bagian dari spektrum orientasi seksual yang bersifat alami dan tidak selalu terkait dengan pilihan sadar (LeVay, 2010).

Homoseksualitas, yang didefinisikan sebagai ketertarikan emosional, romantis, atau seksual terhadap individu dengan jenis kelamin yang sama, bukanlah fenomena yang eksklusif milik manusia. Penelitian oleh Bruce Bagemihl (1999) menunjukkan bahwa perilaku homoseksual telah didokumentasikan pada lebih dari 1.500 spesies hewan, termasuk mamalia, burung, dan bahkan serangga. Perilaku tersebut bervariasi dari bentuk hubungan jangka pendek hingga ikatan pasangan jangka panjang, dan dari perilaku seksual hingga pengasuhan anak bersama sesama jenis. Fakta ini menunjukkan bahwa homoseksualitas bukanlah penyimpangan terhadap "alam", tetapi justru merupakan bagian dari keragaman perilaku alami yang mungkin memiliki fungsi sosial maupun evolusioner tertentu.

Dalam spesies manusia, homoseksualitas lebih kompleks karena melibatkan faktor biologis, psikologis, sosial, dan budaya. Simon LeVay (2010), seorang ahli saraf, mengemukakan bahwa orientasi seksual pada manusia tampaknya tidak ditentukan oleh satu faktor tunggal, melainkan merupakan hasil interaksi antara faktor genetik, hormonal (terutama selama masa perkembangan prenatal), serta struktur otak tertentu. Ia menemukan perbedaan ukuran pada bagian otak yang dikenal sebagai hypothalamus antara pria homoseksual dan heteroseksual, yang mengindikasikan bahwa orientasi seksual memiliki basis biologis yang dapat diukur secara ilmiah.

Penemuan-penemuan ini mendukung pandangan bahwa homoseksualitas bukanlah hasil dari penyimpangan moral atau pilihan sadar individu, melainkan bagian dari variasi alami dalam perkembangan manusia. Konsep "pilihan" sering kali keliru diasosiasikan dengan homoseksualitas, padahal banyak individu melaporkan bahwa orientasi mereka bukan sesuatu yang dipilih, melainkan sesuatu yang mereka sadari dan alami sejak dini dalam kehidupan mereka. Hal ini dikuatkan oleh berbagai studi longitudinal yang menunjukkan bahwa upaya untuk mengubah orientasi seksual seseorang tidak hanya tidak efektif, tetapi juga berpotensi merusak kesehatan mental dan emosional (APA, 2009).

Lebih lanjut, pengakuan bahwa homoseksualitas merupakan bagian dari spektrum orientasi seksual manusia juga telah mendapat dukungan dari lembaga-lembaga medis dan psikologis terkemuka di dunia. American Psychiatric Association menghapus homoseksualitas dari daftar gangguan mental pada tahun 1973, dan World Health Organization (WHO) mengikuti langkah tersebut pada tahun 1992. Organisasi-organisasi ini menyatakan bahwa homoseksualitas tidak dapat diklasifikasikan sebagai penyakit atau gangguan karena tidak memenuhi kriteria klinis, seperti adanya disfungsi psikologis atau penderitaan yang melekat (WHO, 1992; APA, 2009).

Dari perspektif evolusioner, keberadaan homoseksualitas menimbulkan pertanyaan tentang kontribusinya dalam seleksi alam. Beberapa teori mengemukakan bahwa homoseksualitas bisa tetap lestari karena:

  1. Teori kekerabatan (kin selection): individu homoseksual membantu merawat keponakan dan cucu sehingga memperkuat kelangsungan gen keluarga (Wilson, 1975).

  2. Teori kelebihan reproduksi (balancing selection): gen yang meningkatkan kecenderungan homoseksual mungkin juga meningkatkan daya tarik heteroseksual pada kerabat lain (Rice et al., 1999).

  3. Fungsi sosial: ikatan emosional non-reproduktif memperkuat kohesi kelompok sosial manusia purba (Kirkpatrick, 2000).

Dengan kata lain, homoseksualitas tidak merugikan kelangsungan spesies, bahkan bisa memberikan nilai adaptif secara tidak langsung dalam konteks sosial.

Perspektif Kekristenan terhadap Homoseksualitas

Dalam tradisi Kristen, homoseksualitas sering kali ditolak berdasarkan sejumlah teks Kitab Suci. Beberapa ayat yang sering dikutip antara lain:

  1. Imamat 18:22: "Janganlah engkau tidur dengan laki-laki secara orang bersetubuh dengan perempuan, karena itu suatu kekejian."

  2. Roma 1:26-27: Paulus menuliskan tentang perempuan dan laki-laki yang "meninggalkan hubungan alami" dan melakukan hubungan sesama jenis.

  3. 1 Korintus 6:9-10 dan 1 Timotius 1:10 juga mencantumkan daftar perilaku yang dikaitkan dengan dosa, termasuk homoseksualitas.

Namun, penting untuk dicatat bahwa konteks budaya, sosial, dan historis sangat mempengaruhi penulisan dan pemahaman ayat-ayat ini. Dalam masyarakat Israel kuno dan Romawi, praktik homoseksual sering terkait dengan:

  1. Ritual penyembahan berhala
  2. Kekerasan dan pemaksaan seksual
  3. Relasi dominasi (tuan-budak, dewasa-anak)

Karenanya, sejumlah teolog modern seperti Matthew Vines (2014) dan James Brownson (2013) menafsirkan bahwa larangan terhadap homoseksualitas yang terdapat dalam beberapa teks Alkitab, khususnya dalam Perjanjian Lama dan surat-surat Paulus, tidak semata-mata dimaksudkan sebagai pelarangan terhadap orientasi homoseksual secara inheren. Vines, dalam bukunya God and the Gay Christian, menegaskan bahwa konteks historis dan budaya sangat penting dalam menafsirkan teks-teks tersebut. Menurutnya, banyak dari praktik homoseksual yang dilarang dalam Alkitab merupakan bentuk dari hubungan yang tidak setara, eksploitatif, atau bermuatan kekuasaan, seperti praktik pedofilia, pemerkosaan, atau hubungan seksual dalam konteks penyembahan berhala. Dalam kerangka ini, apa yang dikecam bukanlah hubungan yang dibangun atas dasar kasih dan komitmen, melainkan bentuk penyalahgunaan seksualitas (Vines, 2014).

Sementara itu, James Brownson (2013), dalam Bible, Gender, Sexuality, mengajukan pendekatan hermeneutik kontekstual dengan menyelidiki konsep "naturalisme" dan "gender roles" dalam teks Alkitab. Ia menyimpulkan bahwa orientasi seksual sebagai identitas yang melekat tidak pernah menjadi fokus dalam teks-teks Alkitab, karena pemahaman kuno mengenai seksualitas belum mengenal konsep orientasi seksual sebagaimana dipahami dalam dunia modern. Oleh karena itu, pembacaan literal atas larangan homoseksual tanpa mempertimbangkan konteks sosial dan budaya zaman itu berisiko menghasilkan tafsir yang tidak tepat dan mengabaikan kompleksitas manusia kontemporer.

Lebih jauh lagi, dalam pengajaran Yesus Kristus di Perjanjian Baru, tidak ditemukan satu pun ayat yang secara eksplisit mengutuk atau membahas homoseksualitas. Fokus utama Yesus dalam pelayanannya justru berkisar pada kasih, pengampunan, dan relasi yang otentik antara manusia dengan Allah serta antara sesama manusia. Dalam Yohanes 13:34-35, Yesus memberikan perintah baru, yakni “supaya kamu saling mengasihi,” dan menekankan bahwa tanda utama dari pengikut-Nya adalah kasih. Ajaran ini memberikan landasan etis yang kuat untuk mempertimbangkan kembali pemahaman teologis terhadap homoseksualitas dalam terang nilai-nilai kasih dan keadilan ilahi.

Dengan pendekatan yang berpusat pada kasih dan relasi, para teolog ini berusaha membuka ruang dialog yang lebih inklusif dan penuh kasih dalam gereja, khususnya bagi orang-orang percaya yang hidup dalam orientasi seksual non-heteroseksual. Penekanan pada cinta yang setara dan bertanggung jawab menjadi dasar moralitas Kristen yang lebih kontekstual daripada sekadar mengikuti larangan-larangan literal tanpa memperhatikan konteksnya. Dalam pandangan ini, homoseksualitas yang dijalani dalam komitmen, kesetiaan, dan kasih sejati dapat tetap merefleksikan nilai-nilai Injil.

Rekonsiliasi antara Iman dan Sains

Kekristenan kontemporer menghadapi tantangan hermeneutik yang signifikan, yaitu bagaimana menafsir ulang ajaran-ajaran klasik dalam terang temuan-temuan ilmiah dan perkembangan pemahaman manusia mengenai identitas, seksualitas, dan keadilan. Munculnya diskursus mengenai homoseksualitas sebagai bagian dari spektrum orientasi seksual manusia—yang bersifat biologis dan tidak berdasarkan pada pilihan sadar—telah mendorong berbagai gereja dan denominasi untuk mempertimbangkan pendekatan yang lebih inklusif terhadap individu LGBTQ+, sembari tetap berpegang pada inti iman Kristen (Boswell, 1980; Gagnon, 2002). Dalam beberapa konteks, seperti Gereja Anglikan di Kanada dan Inggris, serta beberapa sinode dalam gereja Lutheran dan gereja-gereja progresif lainnya, telah terjadi langkah konkret untuk mengakomodasi pernikahan sesama jenis dan penahbisan pendeta dari kalangan LGBTQ+.

Fenomena ini bukan sekadar bentuk kompromi terhadap tuntutan sosial, tetapi mencerminkan dinamika teologi yang hidup dan terus berkembang. Dalam pemikiran teologi kontemporer, iman dipahami bukan sebagai sistem kepercayaan yang statis dan tertutup, melainkan sebagai proses yang dinamis dan reflektif. Teologi rekonsiliasi menempatkan kasih sebagai prinsip hermeneutik utama dalam menafsirkan Kitab Suci—kasih yang melampaui hukum dan menjadi penggenapan hukum itu sendiri (Roma 13:10). Dengan cara ini, umat Kristen diajak untuk memahami bahwa kesetiaan kepada Firman Tuhan tidak selalu berarti mempertahankan pemahaman masa lalu, melainkan juga bersedia meninjau ulang makna teks dalam terang pewahyuan yang terus berlangsung melalui akal budi dan hati nurani manusia.

Teologi rekonsiliasi ini mengajak gereja untuk menjadi ruang dialog, bukan benteng perlawanan terhadap ilmu pengetahuan. Ketika ilmu pengetahuan menunjukkan bahwa orientasi seksual bukanlah pilihan moral, melainkan bagian dari keragaman alami manusia, maka gereja perlu mengevaluasi ulang pendekatan etis dan pastoralnya. Kasih Kristus, sebagaimana ditunjukkan dalam kehidupan-Nya yang menerima kaum marginal dan berdosa tanpa syarat, menjadi dasar bagi inklusivitas. Dalam Yohanes 8:11, Yesus tidak menghukum perempuan yang kedapatan berzina, tetapi justru menawarkan pengampunan dan harapan hidup baru. Semangat inilah yang ingin dibawa oleh teologi kontemporer dalam menghadapi realitas homoseksualitas di tengah umat.

Lebih dari itu, pendekatan ini juga menantang umat Kristen untuk memahami bahwa keselamatan bukanlah hasil dari orientasi seksual tertentu, melainkan dari iman kepada Kristus dan kasih yang diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari (Galatia 5:6). Dalam terang ini, individu homoseksual yang hidup dalam komitmen, kesetiaan, dan kasih dapat mencerminkan buah Roh dan menjadi bagian dari tubuh Kristus yang satu. Gereja yang menolak mereka atas dasar identitas seksual, alih-alih atas dasar perilaku tidak etis, justru berisiko bertentangan dengan pesan Injil yang universal dan menyeluruh.

Sebagai penutup, dialog antara iman dan ilmu bukanlah upaya untuk merelatifkan kebenaran Kitab Suci, tetapi justru untuk memperdalam pemahaman akan maksud Allah melalui berbagai cara Ia menyatakan diri—termasuk melalui kemajuan pengetahuan. Gereja yang terbuka pada dialog ini tidak hanya menjadi lebih relevan secara sosial, tetapi juga lebih setia secara spiritual, karena menjadikan kasih Kristus sebagai poros teologi dan praksisnya. Teologi rekonsiliasi, dengan demikian, bukan semata-mata membela homoseksualitas, melainkan membela martabat manusia sebagaimana Allah menciptakan mereka: unik, berharga, dan layak dikasihi.

Kesimpulan

Homoseksualitas pada Homo sapiens tidak dapat semata-mata dipahami sebagai penyimpangan dari kodrat manusia, melainkan sebagai bagian dari spektrum keragaman biologis dan psikologis yang telah diamati secara konsisten dalam kajian ilmiah modern (Bagemihl, 1999; LeVay, 2010). Keberadaan homoseksualitas dalam spesies manusia dan berbagai makhluk hidup lainnya menunjukkan bahwa perilaku ini bukanlah hasil penyimpangan moral atau penyalahgunaan kehendak bebas, melainkan bagian dari kompleksitas orientasi seksual yang ditentukan oleh interaksi antara faktor genetika, hormonal, dan perkembangan psikososial.

Di sisi lain, penolakan terhadap homoseksualitas dalam konteks Kekristenan sering kali berakar dari tafsir literal atau kontekstual yang tidak mempertimbangkan konteks historis, sosial, dan linguistik dari teks-teks Kitab Suci. Ayat-ayat yang digunakan untuk menolak homoseksualitas, seperti Kejadian 19, Imamat 18:22, dan Roma 1:26–27, kerap ditafsirkan dalam kerangka moralitas seksualitas yang tidak mempertimbangkan isu relasi kuasa, eksploitasi seksual, dan praktik penyembahan berhala yang menjadi latar budaya teks tersebut ditulis (Brownson, 2013; Vines, 2014). Oleh karena itu, penting bagi gereja untuk melakukan hermeneutika yang lebih mendalam, kontekstual, dan terbuka terhadap temuan ilmiah kontemporer.

Kekristenan tidak pernah dimaksudkan untuk menjadi sistem kepercayaan yang membekukan pemahaman manusia dalam satu waktu dan ruang tertentu, melainkan sebagai jalan iman yang terus diperbaharui dalam terang kasih Kristus dan dinamika sejarah manusia. Dengan demikian, penafsiran ulang terhadap teks-teks Alkitab mengenai homoseksualitas bukanlah bentuk kompromi terhadap dunia modern, tetapi bagian dari pertumbuhan iman yang reflektif, kritis, dan penuh kasih. Sebagaimana Yesus menempatkan kasih sebagai hukum yang utama (Matius 22:37–40), maka pendekatan terhadap homoseksualitas pun harus dilandasi oleh prinsip yang sama—yakni kasih yang tidak bersyarat, penerimaan, dan keadilan.

Pendekatan teologis yang berlandaskan kasih dan keadilan akan menolong gereja untuk tidak terjebak pada legalisme atau eksklusivisme, tetapi membuka ruang pastoral yang lebih manusiawi dan inklusif. Hal ini bukan hanya penting untuk merespons kebutuhan umat yang beragam, tetapi juga untuk menjaga relevansi Injil di tengah dunia yang terus berubah. Gereja yang menolak untuk berdialog dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman hidup umat berisiko kehilangan peran profetiknya dalam masyarakat.

Daftar Pustaka 
American Psychological Association. (2008). Answers to your questions for a better understanding of sexual orientation and homosexuality. https://www.apa.org/topics/lgbtq/orientation
Bagemihl, B. (1999). Biological Exuberance: Animal Homosexuality and Natural Diversity. New York: St. Martin's Press.
Brownson, J. V. (2013). Bible, Gender, Sexuality: Reframing the Church's Debate on Same-Sex Relationships. Grand Rapids, MI: Eerdmans.
Kirkpatrick, R. C. (2000). The evolution of human homosexual behavior. Current Anthropology, 41(3), 385–413. https://doi.org/10.1086/300145
LeVay, S. (2010). Gay, Straight, and the Reason Why: The Science of Sexual Orientation. Oxford: Oxford University Press.
Rice, W. R., Friberg, U., & Gavrilets, S. (1999). Homosexuality as a consequence of epigenetically canalized sexual development. The Quarterly Review of Biology, 74(4), 481–502.
United Nations. (1948). Universal Declaration of Human Rights. https://www.un.org/en/about-us/universal-declaration-of-human-rights
Vines, M. (2014). God and the Gay Christian: The Biblical Case in Support of Same-Sex Relationships. New York: Convergent Books.
Wilson, E. O. (1975). Sociobiology: The New Synthesis. Cambridge, MA: Harvard University Press

Komentar

Postingan Populer