Imajinasi Homo Sapiens
Yuval Noah Harari (2011) menjelaskan bahwa kemampuan Homo sapiens untuk menciptakan realitas fiktif adalah revolusi kognitif terbesar yang terjadi sekitar 70.000 tahun lalu. Kemampuan ini memungkinkan manusia membangun struktur sosial yang jauh lebih kompleks daripada spesies manusia lainnya.
“Any large-scale human cooperation—whether a modern state, a medieval church, an ancient city or an archaic tribe—is rooted in common myths that exist only in people's collective imagination.”(Harari, 2011, p. 30)
Mitos kolektif adalah fondasi tak kasatmata dari peradaban manusia. Dalam pandangan Harari (2011), kepercayaan terhadap konsep-konsep seperti hukum, negara, agama, dan bahkan uang, merupakan hasil dari kemampuan imajinatif Homo sapiens yang unik. Meskipun secara objektif entitas-entitas ini tidak ada di alam fisik, jutaan bahkan miliaran manusia percaya pada keberadaannya. Keyakinan kolektif terhadap mitos-mitos ini justru menjadi kekuatan yang menyatukan umat manusia dalam skala besar. Harari menyebut ini sebagai “realitas intersubjektif”, yaitu kenyataan yang hanya bisa hidup dalam pikiran banyak orang secara bersamaan.
Sebagai contoh, hukum hanyalah rangkaian teks dalam buku atau dokumen digital. Namun, selama orang-orang mempercayai bahwa hukum memiliki kekuatan, mereka akan mematuhinya. Hal yang sama berlaku untuk konsep negara—sebuah garis imajiner yang kita yakini sebagai batas wilayah kedaulatan, padahal secara geografis, bumi tidak memiliki batas-batas tersebut secara alami. Uang, pun, pada hakikatnya hanyalah potongan kertas atau angka dalam sistem komputer, tetapi diterima secara universal karena mitos bersama yang mengatakan bahwa uang memiliki nilai tukar. Inilah kekuatan imajinasi yang telah membentuk dunia modern.
Para ilmuwan kognitif percaya bahwa bahasa adalah medium utama yang memungkinkan manusia menyampaikan dan memperkuat mitos-mitos kolektif ini. Steven Pinker (1994) dalam The Language Instinct menjelaskan bahwa bahasa bukan hanya alat untuk menyampaikan informasi, tetapi juga untuk membangun narasi yang kompleks. Melalui bahasa, manusia dapat menceritakan legenda, sejarah, dan hukum adat yang tidak dapat dilihat secara langsung, tetapi diyakini kebenarannya oleh masyarakat. Bahasa memperluas jangkauan pengalaman manusia hingga ke dunia yang tak kasatmata.
Daniel Dennett (1991) menambahkan bahwa manusia bukan hanya pemroses informasi, melainkan penyusun cerita. Ia memperkenalkan gagasan bahwa kesadaran manusia berpusat pada narasi, bukan pada data mentah. Kita memahami diri kita, orang lain, dan dunia sekitar melalui cerita—tentang siapa kita, dari mana kita berasal, dan ke mana kita akan pergi. Imajinasi, dalam hal ini, menjadi bahan bakar utama narasi manusia. Bahkan nilai moral, identitas, dan tujuan hidup kita adalah konstruksi naratif yang terbangun dari bahasa dan imajinasi kolektif.
Imajinasi juga memungkinkan manusia menciptakan struktur sosial yang jauh lebih besar dan fleksibel dibandingkan spesies lain. Jika simpanse hanya bisa membentuk kelompok yang kohesif dengan sekitar 150 individu (Dunbar, 1993), manusia bisa membentuk negara yang terdiri dari jutaan orang asing yang tidak saling kenal, tetapi bersedia bekerja sama karena percaya pada mitos bersama. Mitos ini diperkuat melalui simbol-simbol seperti bendera, lagu kebangsaan, dan dokumen konstitusi—semuanya adalah hasil imajinasi yang dilembagakan.
Tanpa kemampuan berimajinasi dan mempercayai hal-hal yang tak nyata secara fisik, Homo sapiens tidak akan pernah mampu membangun peradaban sebesar sekarang. Imajinasi adalah kebenaran yang kita ciptakan bersama—dan selama kita mempercayainya, dunia yang kita bentuk darinya akan terus hidup.
Dennett (1991) menyebut bahwa kesadaran manusia adalah “naratif pusat” (the center of narrative gravity)—kita memahami diri kita sendiri melalui alur cerita, bukan sekadar data. Imajinasi pun menjadi dasar dari kesadaran.
“We are not information processors. We are storytellers.”(Dennett, 1991)
Dengan kata lain, imajinasi adalah jantung dari apa yang membuat kita manusia. Kita tidak hanya hidup dalam dunia nyata, tapi juga dalam dunia yang kita bayangkan dan yakini bersama.
Selain membentuk realitas sosial seperti negara dan uang, imajinasi manusia juga memainkan peran penting dalam penciptaan konsep moral dan etika. Berbeda dengan insting biologis hewan yang bersifat otomatis dan terbatas pada kebutuhan dasar, manusia mampu membayangkan konsekuensi abstrak dan menilai tindakan berdasarkan prinsip-prinsip tak kasatmata seperti keadilan, martabat, dan empati. Dalam hal ini, imajinasi memungkinkan manusia membangun sistem moral yang tidak selalu berkaitan dengan realitas empiris, tetapi lebih kepada keyakinan kolektif tentang apa yang dianggap “baik” dan “buruk”.
Jean-Paul Sartre dan filsuf eksistensialis lainnya menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang “dikutuk untuk bebas” karena mereka memiliki kesadaran akan pilihan dan tanggung jawab moral (Sartre, 1943/2007). Kesadaran ini lahir dari kapasitas imajinatif untuk membayangkan diri sendiri dalam berbagai skenario, menimbang dampak keputusan terhadap orang lain, dan mempertimbangkan norma sosial yang tak terlihat. Misalnya, meskipun tidak ada “hukuman instan” yang diberikan alam terhadap tindakan mencuri, masyarakat manusia mengecamnya karena dianggap melanggar nilai yang disepakati bersama.
Penelitian dalam bidang psikologi moral oleh Jonathan Haidt (2001) juga mendukung gagasan ini. Ia menemukan bahwa moralitas manusia tidak hanya didasarkan pada logika rasional, tetapi juga pada intuisi moral yang berkembang melalui budaya dan cerita bersama. Imajinasi kolektif membentuk “intuisi moral” ini dengan menciptakan narasi tentang pahala dan hukuman, surga dan neraka, karma dan dosa. Konsep-konsep ini tidak dapat diverifikasi secara ilmiah, tetapi tetap memiliki kekuatan memandu perilaku manusia karena tertanam dalam jaringan makna sosial.
Dalam konteks ini, sistem hukum juga merupakan produk dari imajinasi moral manusia. Hukum tidak hanya menetapkan aturan formal, tetapi juga mencerminkan nilai-nilai etis yang hidup dalam masyarakat. Misalnya, larangan terhadap kekerasan dalam rumah tangga bukan sekadar ketentuan hukum, tetapi cerminan dari imajinasi kolektif bahwa keluarga seharusnya menjadi ruang aman dan penuh kasih. Ketika masyarakat mengubah pandangannya terhadap apa yang adil, hukum pun akan ikut berubah, seperti yang terlihat dalam perjuangan hak-hak sipil, gender, dan LGBTQ+.
Imajinasi moral ini sangat kuat karena ia bersifat performatif—artinya, apa yang kita bayangkan sebagai benar atau salah dapat mengubah kenyataan sosial secara nyata. Jika cukup banyak orang percaya bahwa semua manusia memiliki martabat yang sama, maka sistem perbudakan pun bisa dihapuskan. Jika masyarakat percaya bahwa lingkungan hidup memiliki nilai moral, maka kebijakan pelestarian alam pun bisa ditegakkan. Dalam hal ini, imajinasi etis adalah pendorong perubahan sosial yang fundamental.
Frans de Waal (2006) berpendapat bahwa empati dan keadilan memang memiliki akar biologis, namun hanya manusia yang mampu mengembangkan konsep moral yang kompleks karena kemampuan imajinatif kita.
Di zaman modern, imajinasi manusia telah melahirkan dunia digital, media sosial, bahkan kecerdasan buatan. Jean Baudrillard (1981/1994) menyebut kondisi ini sebagai hiperrealitas—di mana simulasi menjadi lebih nyata daripada kenyataan itu sendiri.
“We live in a world where there is more and more information, and less and less meaning.”(Baudrillard, 1994, p. 79)
Media sosial dan internet telah menciptakan realitas baru, di mana representasi (seperti reputasi digital) bisa lebih berpengaruh daripada identitas riil seseorang.
Homo sapiens adalah satu-satunya spesies di bumi yang mampu menciptakan dan mempercayai mitos bersama dalam skala besar. Dari cerita tentang para dewa hingga konsep negara-bangsa, dari agama hingga sistem ekonomi modern, semua berakar dari kekuatan berimajinasi.
Pertanyaannya kini adalah: apakah kita masih mampu mengendalikan narasi yang kita ciptakan?
Seperti yang diungkapkan oleh Harari (2015) dalam Homo Deus, tantangan dan petualangan terbesar umat manusia di abad ke-21 bukan lagi menaklukkan samudera atau menjelajah luar angkasa, melainkan memahami dan menguasai pikiran manusia sendiri. Imajinasi bukan hanya kemampuan untuk menciptakan cerita, tetapi juga fondasi dari peradaban, moralitas, dan cita-cita manusia. Dari mitos-mitos kolektif hingga nilai-nilai etika, imajinasi telah menjadikan Homo sapiens mampu hidup dalam dunia yang sepenuhnya dibentuk oleh narasi. Di era kecerdasan buatan dan bioteknologi ini, ketika batas antara realitas dan fiksi semakin kabur, kemampuan untuk membayangkan tetap menjadi kekuatan utama spesies kita. Maka benar, penjelajahan yang paling penting hari ini bukan lagi ke luar, tetapi ke dalam: menelusuri sumber dari semua yang kita yakini, ciptakan, dan perjuangkan—yakni imajinasi itu sendiri.
Daftar Referensi
Baudrillard, J. (1994). Simulacra and simulation (S. F. Glaser, Trans.). University of Michigan Press. (Original work published 1981)
Dennett, D. C. (1991). Consciousness explained. Little, Brown and Co.
de Waal, F. (2006). Primates and philosophers: How morality evolved. Princeton University Press.
Harari, Y. N. (2011). Sapiens: A brief history of humankind. Harvill Secker.
Harari, Y. N. (2015). Homo Deus: A brief history of tomorrow. Harvill Secker.
Pinker, S. (1994). The language instinct: How the mind creates language. William Morrow and Company.
Dennett, D. C. (1991). Consciousness explained. Little, Brown and Co.
Haidt, J. (2001). The emotional dog and its rational tail: A social intuitionist approach to moral judgment. Psychological Review, 108(4), 814–834. https://doi.org/10.1037/0033-295X.108.4.814
Sartre, J.-P. (2007). Being and nothingness: An essay in phenomenological ontology (H. E. Barnes, Trans.). Routledge. (Original work published 1943)
Komentar
Posting Komentar