Hello Readers
kali saya akan posting analisis hukum terkait Impeachment Terhadap Presiden
kali saya akan posting analisis hukum terkait Impeachment Terhadap Presiden
Analisis Hukum
(Impeachment
kepada Presiden dan/atau impeach terhadap wakil Presiden )
Dibuat Oleh
:
Nama :
Fernando Tantaru
Kelas : IIIA
NIM : 2017-21-002
F A K U L T A S H U K U M
U N I V E R S I T A S P A T T I M U R A
A M B O N
2 0 1 8
PENDAHULUAN
LATAR BELAKANG
Presiden
Republik Indonesia merupakan pemegang kekuasaan pemerintah menurut
Undang-undang Dasar NRI 1945. Presiden dalam melaksanakan kewajibannya dibantu
oleh satu orang wakil presiden (pasal 4 ayat 2 UUD NRI 1945). Dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia kita mengenal Presiden disamping sebagai kepala negara
juga sebagai kepala pemerintahan dalam hal ini sistem pemerintahan presidensial
(Quasi).
Secara
teori kedudukan presiden dalam sistem pemerintahan presidensial sangat kuat dibandingkan
kedudukan perdana menteri dalam sistem pemerintahan parlementer. Karena sistem
pemerintahan presidensial (Quasi) dimaksudkan untuk menciptakan pemerintahan
yang stabil. Dalam sistem pemerintahan Presidensial yang dianut di
indonesia sangat menuntut adanya suatu kesempurnaan dalam pola kekuasaan agar
tidak terjadinya penyimpangan kekuasaan.
Salah
satu ketentuan penting yang merupakan konsekuensi dalam sistem pemerintahan
presidensial adalah Pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden dalam masa
jabatannya yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) atas usul
dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Adanya
konsekuensi tersebut dikarenakan negara yang identik dengan kekuasaan perlu
adanya pembatasan kekuasaan dan mekanisme saling mengawasi dan mengimbangi
antar lembaga negara (cheks and balances). Namun sistem ini tidak menghendaki
bahwa Legislatif dalam hal ini tidak bisa langsung memberhentikan presiden
dan/atau wakil presiden tanpa adanya kesalahan yang dilakukan kecuali terbukti melakukan
pelanggaran terhadap hukum positif yang berlaku.
Amandemen
UUD NRI 1945 yang sudah dilakukan sebanyak empat kali mengakibatkan perubahan
yang eksplisit terhadap terhadap masalah ini, alasan pemberhentian Presiden
dan/atau wakil Presiden berdasarkan pasal 7A dan 7B UUD
NRI 1945. Hampir semua negara yang menganut sistem pemerintahan presidensial
mengatur masalah Pemakzulan (Impeachment) Presiden dan/atau wakil Presiden
didalam konstitusi negara masing-masing, contohnya Amerika Serikat (article II section 4 konstitusi AS)
PEMBAHASAN
A. PENGERTIAN PEMAKZULAN/IMPEACHMENT
Pemakzulan (lebih populer disebut impeachment) adalah sebuah proses
dari sebuah badan legislatif yang secara resmi menjatuhkan
dakwaan terhadap seorang pejabat tinggi negara. Pemakzulan bukan selalu berarti pemecatan atau pelepasan jabatan,
tetapi hanya merupakan pernyataan dakwaan secara resmi, mirip pendakwaan dalam
kasus-kasus kriminal, sehingga hanya merupakan langkah
pertama menuju kemungkinan pemecatan. Saat pejabat tersebut telah dimakzulkan,
ia harus menghadapi kemungkinan dinyatakan bersalah melalui sebuah pemungutan
suara legislatif, yang kemudian menyebabkan kejatuhan. Pemakzulan berlaku di
bawah undang-undang konstitusi di banyak negara di dunia, termasuk Amerika Serikat, Brasil, Rusia, Filipina, dan Republik
Irlandia (wikipedia, ensiklopedia).
Black‟s Law Dictionary
mendefinisikan impeachment sebagai “A criminal proceeding against a
public officer, before a quasi political court, instituted by a written
accusation called ‘articles of impeachment”.12 Impeachment diartikan
sebagai suatu proses peradilan pidana terhadap seorang pejabat publik yang
dilaksanakan di hadapan Senat, disebut dengan quasi political court
B. PEMAKZULAN/IMPEACHMENT DI INDONESIA
Dalam konteks ketatanegaraan
Indonesia, Pasal 4 ayat (1) Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945 menentukan bahwa Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas pemerintahan
negara. Dengan dasar tersebut, maka Indonesia menganut sistem pemerintahan
presidensiil. Untuk itu, semenjak perubahan UUD NRI Tahun 1945 telah terjadi
penguataan dan purifikasi sistem presidensial. Penguatan dan purifikasi
tersebut salah satunya adalah dengan diaturnya pranata impeachment dalam Pasal
7A dan Pasal 7B.
Dengan adanya ketentuan tersebut,
maka Presiden dan/atau Wakil Presiden Indonesia tidak dapat dijatuhkan oleh
parlemen di tengah masa jabatan, kecuali dengan alasan-alasan khusus yang telah
ditentukan oleh UUD NRI Tahun 1945. Di samping itu, ditentukan pula bahwa
Mahkamah Konstitusi terlibat dalam proses impeachment tersebut untuk memutuskan
pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tentang dapat atau tidaknya Presiden dan/atau
Wakil Presiden diimpeach.
Banyak pihak yang memahami bahwa
impeachment merupakan turunnya, berhentinya atau dipecatnya Presiden atau
pejabat tinggi dari jabatannya. Sesungguhnya arti impeachment sendiri merupakan
tuduhan atau dakwaan sehingga impeachment lebih menitikberatkan pada prosesnya
dan tidak mesti berakhir dengan berhenti atau turunnya Presiden atau pejabat
tinggi negara lain dari jabatannya.
Di Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan Pasal 7A UUD NRI Tahun 1945 objek impeachment hanya dilakukan
terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden saja, tidak berlaku terhadap pejabat
lembaga negara lainnya. Sedangkan di Amerika Serikat dan Filipina, impeachment
tidak hanya ditujukan kepada Presiden dan/atau Wakil Presiden. Article II Section 4 Konstitusi
Amerika Serikat menentukan “The
President, Vice President and all civil Officers of the United States, shall be
removed from Office on Impeachment for, and Conviction of, Treason,Bribery, or
other high Crimes and Misdemeanors”.
C.
DASAR
HUKUM BERLAKUNYA IMPEACHMENT DI INDONESIA
Yang
menguatkan dasar hukum, ditegaskan dalam UUD 1945, yaitu pada Pasal 24 c (2)
Mahkamah Konstitusi wajib memberikan putusan atas pendapat Dewan Perwakilan
Rakyat mengenai dugaan pelanggaran oleh Presiden dan Wakil Presiden menurut
undang-undang Dasar.
Pasal 7A
Presiden dan/atau
Wakil Presiden dapat diberhentikan dalam masa jabatannya oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat atas usul Dewan Perwakilan Rakyat , baik apabila
terbukti telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap
negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela
maupun apabila terbukti tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau
Wakil Presiden.
Pasal 7B
(1) Usul
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dapat diajukan oleh Dewan
Perwakilan Rakyat hanya dengan terlebih dahulu mengajukan permintaan kepada
Mahkamah Konstitusi untuk memeriksa mengadili, dan memutus pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak melakukan
pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela; dan/atau pendapat bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
(2) Pendapat Dewan
Perwakilan Rakyat bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden telah melakukan
pelanggaran hukum tersebut ataupun telah tidak lagi memenuhi syarat
sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah dalam rangka pelaksanaan fungsi
pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Pengajuan permintaan
Dewan Perwakilan Rakyat kepada Mahkamah Konstitusi hanya dapat dilakukan dengan
dukungan sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat
yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri oleh sekurang-kurangnya 2/3
dari jumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat
(4) Mahkamah
Konstitusi wajib memeriksa mengadili, dan memutus dengan seadil-adilnya
terhadap pendapat Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lama sembilan puluh
hari setelah permintaan Dewan Perwakilan Rakyat itu diterima oleh Mahkamah
Konstitusi.
(5) Apabila Mahkamah
Konstitusi memutuskan bahwa Presiden dan/atau Wakil Presiden terbukti melakukan
pelanggaran hukum berupa penghianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan,
tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau terbukti bahwa
Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden
dan/atau Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat menyelenggarakan sidang
paripurna untuk meneruskan usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat.
(6) Majelis
Permusyawaratan Rakyat wajib menyelenggarakan sidang untuk memutuskan usul
Dewan Perwakilan Rakyat tersebut paling lambat tiga puluh hari sejak Majelis
Permusyawaratan Rakyat menerima usul tersebut.
(7) Keputusan Majelis
Permusyawaratan Rakyat atas usul pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden
harus diambil dalam rapat paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat yang
dihadiri sekurang-kurangnya 3/4 jumlah anggota dan disetujui oleh
sekurang-kurangnya 2/3 dari jumlah anggota yang hadir, setelah Presiden
dan/atau Wakil Presiden diberi kesempatan menyampaikan penjelasan dalam rapat
paripurna Majelis Permusyawaratan Rakyat.
D. PRAKTIK
IMPEACHMENT DI INDONESIA
1. Impeachment
Presiden Soekarno
Pada awal
mula terjadinya impeachment terhadap Presiden Soekarno adalah karena
situasi dan kondisi politik negara yang terjadi instabilitas nasional; yang
disebabkan karna adanya peristiwa G.30 S/PKI, disusul kemudian terjadinya
krisis ekonomi nasional yang disebabkan karena tidak menentunya sistem politik
negara , ditambah lagi dengan krisis moralitas masyarakat yang terjadi dengan
maraknya kriminalitas dihampir seluruh wilayah pelosok negeri Indonesia.
Situasi dan kondisi ini memicu perseteruan antara Presiden Soekarno dengan MPRS
; yang pada akhirnya memunculkan pertanggungjawaban Presiden Soekarno dihadapan
sidang MPRS dengan sebutan Pidato Nawaksana yang disampaikan pada
tanggal 22 Juni 1965.
Penyampaian
laporan pertanggungjawaban Presiden Soekarno dihadapan sidang MPRS tersebut,
sesungguhnya inisiatif Presiden sendiri tanpa ada permintaan dari MPRS,
menanggapi pidato tersebut MPRS mengeluarkan Keputusan No. 5/MPRS/1966
tanggal 5 Juli 1966 atas ketidakpuasan MPRS terhadap Pidato
Nawaksana Presiden Soekarno tersebut dan meminta kepada Presiden Soekarno agar
melengkapi laporan pertanggungjawaban kepada MPRS khususnya mengenai
sebab-sebab terjadiya G. 30 S/PKI beserta epilognya dan kemunduran ekonomi
beserta kemerosotan akhlak bangsa.
Atas dasar
memorandum ini, maka diadakanlah Sidang Istimewa MPRS untuk meminta
pertanggungjawaban Presiden Soekarno. Proses hasil Sidang Istimewa MPRS dengan
berbagai pertimbangan MPRS dengan Keputusan Pimpinan MPRS No.13/B/1967, menolak
pertanggungjawaban yang disampaikan Presiden Soekarno yang dikenal dengan Pelengkap
Nawaksana ; dengan alasan-alasan pokok sebagi berikut :
1. Presiden Soekarno telah tidak dapat
memenuhi pertanggungjawaban konstitusional, sebagaimana layaknya seorang
Mandataris terhadap MPRS;
2. Presiden Soekarno telah tidak dapat
menjalankan haluan dan putusan MPRS, sebagaimana layaknya seorang Mandataris
terhadap MPRS
Ditariknya mandat oleh MPRS
melalui Ketetapan No. XXXIII/ MPRS/1967, Majelis mencabut kekuasaan
pemerintahan dari Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presidden.
Pasal 8 UUD 1945 yang mengharuskan wakil Presiden menggantikan posisi Presiden
saat terjadi kekosongan kekuasaan, tidak berlaku karna saat itu tidak ada wakil
presiden.
Ini menunjukan jatuhnya
Presiden Soekarno sebagai praktik ketatanegaraan Indonesia pernah terjadi impeachment
terhadap Presiden.
2. Impeachment
terhadap Presiden Gusdur
Abdurrahman
Wahid diberhentikan pula karena mendapat mosi tidak percaya dari
DPR. Menurut UUD 1945 jo. Tap MPR No. III/MPR/1978 jika terjadi sengketa
antara presiden dan DPR harus dilakukan secara political review melalui lembaga
pertanggung jawaban di MPR.
Wacana
tentang pemberhentian Presiden Abdurrahman Wahid mulai mengemuka ketika namanya
dikaitkan dengan adanya kasus dana Yanatera Bulog sebesar Rp 35 miliar pada Mei
2000. Selain kasus itu, kasus lain yang juga terkait dengan pemberhentian
Presiden Abdurrahman Wahid adalah soal pertanggungjawaban Dana Sultan Brunei
Darussalam sebesar US$ 2 juta yang, menurut beberapa pihak, seharusnya
dimasukkan sebagai pendapatan/ penerimaan negara, bukan bersifat pribadi.
Kalangan
politisi DPR yang berjumlah 236 anggota langsung merespon persoalan ini dengan
mengajukan usul penggunaan hak mengadakan penyelidikan. Usul tersebut
disetujui oleh DPR RI pada Rapat Paripurna tanggal 28 Agustus 2000 dan secara
resmi Panitia Khusus (Pansus) DPR RI mengadakan penyelidikan terhadap kedua
kasus tersebut yang dibentuk pada tanggal 5 September 2000. Dalam laporannya
kepada Rapat Paripurna DPR RI, Pansus membuat kesimpulan sebagai berikut:
1. Dalam
Kasus dana Yanaterta Bulog, Pansus berpendapat: “Patut diduga bahwa presiden
abdurahman wahid berperan dalam pencairan dan penggunaan dana yanatera bulog”
2. Dalam
kasus Dana Bantuan Sultan Brunei Darusalam, Pansus bependapat: “Adanya inkonsistesi
pernyataan presiden abdurrahman wahid tentang masalah bantuan sultan brunei
darusalam, menunjuk bahwa presiden telah menyampaikan keterangan yang tidak
sebenarnya kepada masyarakat”.
Berdasarkan
laporan hasil kerja pansus sebagaimana dijelaskan di atas dan berdasarkan
pendapat fraksi-fraksi, maka Rapat Paripurna DPR-RI ke-36 tanggal 1 Feburuari
2001 memutuskan untuk :
1.
Menerima dan menyetujui laporan hasil kerja Pansus dan memutuskan untuk
ditindaklanjuti dengan menyampaikan Memorandum untuk mengingatkan bahwa
Presiden K.H Abdurahman Wahid sungguh melanggar Haluan Negara, yaitu:
a. Melanggar UUD 1945 Pasal 9 tentang sumpah jabatan, dan
b. Melanggar TAP MPR Nomor XI/MPR/1998
tentang penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN;
2. Hal-hal
yang berkaitan dengan dugaan adanya pelanggaran hukum, menyerahkan
persoalan ini untuk diproses berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
Memorandum DPR terhadap Presiden Abdurrahman Wahid menyebutkan adanya dua
pelanggaran haluan negara yang dituduhkan, yaitu:
a) Melanggar Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal
mengenai Sumpah Jabatan Presiden; dan
b) Melanggar Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia No.
XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi,
Kolusi, dan Nepotisme.
Setelah Memorandum itu, disusullah dengan Memorandum Kedua pada
tanggal 1 Mei 2001 dan Sidang Istimewa MPR RI pada tanggal 1-7 Agustus
2001 untuk meminta pertanggungjawaban Presiden Abdurrahman Wahid.
Menjelang Sidang Istimewa MPR RI yang seharusnya diadakan pada tanggal 1-7
Agustus 2001, Presiden Abdurrahman Wahid mengeluarkan kebijakan yang
kontroversial dan dianggap melanggar peraturan perundangundangan, yaitu
memberhentika Jenderal Polisi S. Bimantoro sebagai Kapolri dan menggantinya
dengan Komisaris Jenderal Polisi Chaerussin Ismail.
Kebijakan
ini dinilai melanggar Pasal 7 ayat (3) Ketetapan MPR No. VI/MPR 2000 yang
mengharuskan adanya persetujuan DPR RI untuk pemberhentian dan pengangkatan Kapolri.
Oleh karena itu, Sidang Istimewa MPR RI dipercepat menjadi tanggal 21-23 Juli
2001. Selain itu, kebijakan yang juga kontroversial adalah penerbitan Maklumat
Presiden Abdurrahman Wahid yang berisi pembekuan MPR RI dan pembekuan Partai
Golkar.
Pada akhirnya,
MPR RI memberhentikan Presiden Abdurrahman Wahid karena dinyatakan
sungguhsungguh melanggar haluan negara, yaitu karena ketidakhadiran dan
penolakan Presiden Abdurrahman Wahid untuk meberikan pertanggungjawaban
dalam Sidang Istimewa MPR RI tahun 2001 dan penerbitan Maklumat Presiden
Republik Indonesia tanggal 23 Juli 2001.
Kesimpulan
dari beberapa rangkaian persitiwa menuju pemberhentian Presiden Abdurrahman
Wahid adalah pertama, Memorandum pertama yang ditetapkan dengan Keputusan
DPR-RI Nomor 33/DPR-RI/III/2000-2001 tentang Penetapan Memorandum DPR-RI kepada
Presiden K.H. Abdurrahman Wahid tertanggal 1 Februari 2001. Kedua,
Memorandum kedua yang ditetapkan Keputusan DPR-RI Nomor 47/DPR-RI/IV/2000-2001
tentang penetapan memorandum yang kedua DPR-RI kepada Presiden K.H.
Abdurrahhman Wahid tertanggal 30 April 2001. Ketiga, Sidang Istimewa
berdasarkan Keputusan Rapat Paripurna ke-36 tertanggal 1 Februari 2001 yang
menyatakan bahwa Presiden K.H. Abdurahman Wahid tidak mengidahkan memorandum
kedua. Keempat, diberhentikannya Presiden K.H.Abdurrahman Wahid.
E. ANALISIS
YURIDIS TERKAIT IMPEACHMENT PRESIDEN APAKAH DAPAT MEMPENGARUHI POSISI WAKIL
PRESIDEN
Berdasarkan UUD 1945 Presiden dan/atau wakil
presiden dipilih oleh rakyat tidak dapat dijatuhkan atau diberhentikan kecuali
terbukti melanggar hukun postif yang ada. Dalam UUD Negara Repulik Indonesia
tahun 1945 pengaturan terntang pemakzulan atau impeachment terhadap Presiden
dan/atau wakil presiden terbagi menjadi dua yaitu :
1. Alasan
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya (Pasal 7A
UUD 45)
2. Prosedur
pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam masa jabatannya (Pasal 7B
UUD 45)
Pengaturan
tentang hal impeachment ini jika dilihat secara grammatical bahwa kata “dan/atau”sesuai
dengan pemberhentian presiden pada masa jabatannya kemudian wakil presiden pada
masa jabataannya. Dalam pasal 6A ayat 1 “Presiden dan wakil Presiden dipilih
dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat”
Jika
dilihat dari konteks ayat UUD ini maka dapat disimpulkan bahwa Presiden dan
wakil presiden memang sepasang dalam pilpres tetapi jika melakukan
pelanggaran/kesalahan terhadap aturan hukum maka mereka akan mendapatkan
hukuman masing-masing/terpisah jika hanya presiden yang melakukan pelanggaran
hukum maka presiden yang dihukum atas pelanggarannya sebaliknya jika wakil
presiden yang melakukan pelanggaran hukum maka dia yang akang dihukum atas
perbuatannya namun jika suatu pelanggaran hukum dilakukan secara bersama antara
presiden dan wakil presiden maka mereka berdua dilengsenrkan dari masa
jabatannya.
Berdasarkan
pasal 8 ayat 1 UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 “Jika presiden
mangkat,berhenti,diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya
dalam masa jabatannya ,maka digantikan oleh wakil presiden sampai habis masa
jabatannya. Maka dapat disimpulkan bahwa jika presiden diberhentikan karena
impeachment dari dari Legislatif maka yang menggantikan adalah wakil presiden,
namun jika wakil presiden yang diberhentikan karena impeachment legislatif yang
terbukti benar maka presiden memilih dua nama untuk diajukan kepada MPR guna
dipilih. Nama yang diusulkan presiden itu terserah pilihan presiden tanpa intervensi
siapapun.(Prof Mahfud MD)
Berdasarkan sejarah ketatanegaraan 3 presiden telah
diimpeach oleh legislatif dan kemudian diberheentikan antara lain Presiden
Soekarno, Presiden Soeharto, dan Presiden Gusdur.
Seperti yang kita ketahui
juga bahwa presiden soekarno diberhentikan namun bukan wakil presidennya yang
menggantikan melainkan soeharto yang mendapat mandat dari MPR
Sedangkan untuk presiden Soeharto yang menggantikan masa
kepemimpinanya adalah wakilnya yaitu Bapak BJ Habibie yang kemudian menjadi
presiden pada masa akhir orde baru. Dan untuk presiden Gusdur yang menggantikan
kepemimpinanya adalah wakilnya yaitu ibu Megawati Soekarnoputri.
Komentar
Posting Komentar