Standar Ganda Kemanusiaan: Why Are We Like This?
Belakangan ini, ogut tuh lagi kesel banget, sumpah. Bukan karena ogut directly affected sama kebakaran di LA, tapi lebih ke gimana orang-orang pada react. Banyak banget ogut liat komentar di TikTok, mostly dari netizen Indo, yang bilang kayak, “Ini balasan Tuhan buat apa yang mereka lakukan di Gaza.” Kayak, seriusan? Ogut nggak paham gimana orang bisa mikir itu okay. Di balik tragedi itu, ada orang beneran, guys. Anak kecil kehilangan rumah, keluarga kehilangan orang tersayang, bahkan ada yang kehilangan nyawa. Tapi kita malah bersorak? Bilang itu karma atau pembalasan Tuhan? Where’s the empathy, sih?
Selective Empathy Is So Exhausting
Jujur, ogut ngerti banget kalau konflik Gaza itu nyentuh banget buat banyak orang, termasuk ogut juga. Itu menyakitkan, dan ogut support banget perjuangan buat keadilan. Tapi, masuk akal nggak sih kalau kita celebrate tragedi lain cuma karena itu terjadi di negara yang kita anggap “villain”? Nyawa manusia tuh nggak ada hubungannya sama nationality. Tragedi ya tragedi, titik. Dan honestly, ogut capek banget lihat gimana orang-orang tuh selective kalau soal empati. Kalau yang kena itu orang yang kita relate, wah peduli banget. Tapi kalau nggak? Ya udah, dianggap deserved aja. Yang bikin ogut makin gemes adalah kenyataan kalau banyak dari kita yang selektif banget soal empati. Kalau tragedinya dekat sama kita—baik itu secara geografis, budaya, atau ideologi dan agama—kita langsung peduli banget. Postingan tentang donasi rame, tagar dukungan berseliweran, bahkan orang yang biasanya nggak peduli pun tiba-tiba jadi aktivis sosial. Tapi, kalau tragedinya jauh dari “lingkaran nyaman” kita, kayak yang terjadi di tempat yang kita anggap villain, empati itu tiba-tiba lenyap.
Lalu, ada yang lebih parah. Bukannya netral atau nggak peduli, mereka malah ngasih narasi negatif. Contoh aja kebakaran di LA ini. Banyak banget komen yang ogut liat bilang, “Ya pantas aja, itu karma.” Like, bro, sejak kapan kita jadi hakim dunia yang punya hak buat bilang siapa yang pantas menderita? Padahal, kalau kita mau jujur, semua tragedi itu pada dasarnya sama. It’s about people—orang-orang yang kehilangan rumah, keluarga, bahkan harapan. Apa yang bikin satu tragedi lebih pantas dapat perhatian daripada yang lain? Bukankah seharusnya rasa sakit itu nggak perlu pembenaran?
Ogut ngerasa, kalau kita terus begini, kita bakal jadi masyarakat yang cuma bisa peduli kalau situasinya sesuai dengan narasi yang nyaman buat kita. Empati itu harusnya nggak conditional. Nggak pake syarat. Karena pada akhirnya, rasa sakit nggak peduli sama nationality, agama, atau politik. It’s universal. And the least we can do is acknowledge that.
It’s Giving Hypocrisy Vibes
Yang bikin makin kesel, beberapa orang ini tuh biasanya suka preach tentang humanity, justice, dan empati. Tapi pas ada kejadian kayak gini? Langsung berubah jadi, “Wajar sih, pantas kok.” Come on, deh. Kalau kita benar-benar peduli soal kemanusiaan, shouldn’t it apply to all humans? Nggak peduli mereka tinggal di negara mana atau punya background apa.
Ogut juga nggak perfect, ogut akui. Kadang ogut kebawa juga sama narasi yang bikin kita jadi bias. Kayak, pas ada konflik besar yang menyangkut sesuatu yang ogut percaya atau dukung, ogut otomatis lebih peduli. Dan di saat yang sama, mungkin ogut pernah juga nggak terlalu peduli sama tragedi di tempat lain yang nggak connect sama ogut secara personal.
Tapi makin sering ogut lihat tragedi demi tragedi lewat di media sosial—baik itu konflik, bencana alam, atau apapun yang menyakitkan—ogut mulai sadar sesuatu: kenapa ya kita gampang banget lupa kalau semua rasa sakit itu sama pentingnya? Maksud ogut, nggak ada skala prioritas buat empati. Pain is pain. Kehilangan itu tetap berat, mau itu terjadi di Gaza, LA, atau bahkan di sebuah desa kecil yang nggak pernah kita dengar.
Dan yang lebih bikin ogut reflektif adalah ini: kalau ogut ada di posisi mereka—di tempat yang lagi dilanda tragedi dan nggak ada yang peduli, ogut pasti bakal ngerasa hancur. Apalagi kalau ada orang yang malah bilang, “Ya wajar sih, itu hukuman.” Kayak, gimana coba perasaan kita kalau rasa sakit kita direduksi jadi sebuah narasi balasan?
Itu yang akhirnya bikin ogut mikir: kita sebagai manusia tuh terlalu gampang terjebak dalam bubble kita sendiri. Kita peduli sama apa yang dekat dengan kita, dan sering banget lupa kalau di luar sana, ada orang-orang yang juga sedang berjuang dengan rasa sakit mereka sendiri. Dan rasa sakit itu nggak pernah kurang penting cuma karena nggak relevan sama hidup kita.
Let’s Flip the Script
Ogut coba bayangin, kalau keadaannya kebalik. Kalau tragedi kayak di LA itu terjadi di Indonesia, gimana perasaan kita? Kita mau nggak orang-orang di luar sana ngejek kita? Atau mereka bilang, “Ya udah, deserved itu.”? Pain itu universal, dan nggak ada yang berhak bilang siapa yang pantas suffer dan siapa yang enggak.
We Can Be Better, Period.
Intinya, ini cuma ogut yang lagi nyoba cope sama betapa kacau dan nggak adilnya semuanya sekarang. Dunia ini udah cukup ribet, penuh konflik, penuh luka. Kalau kita terus-terusan bales kebencian dengan kebencian, kapan semuanya selesai? Empati tuh nggak bisa pilih-pilih. Itu bukan soal siapa yang lebih pantas dapat simpati, tapi soal kita ngelihat manusia sebagai manusia.
A Simple Reminder
Ogut cuma mau bilang, yuk coba, even a little, buat lebih baik. Lihat tragedi sebagai tragedi, tanpa harus kasih narasi soal justice atau revenge. Karena pada akhirnya, ini semua tentang kemanusiaan. Tentang gimana kita bisa jadi manusia yang lebih baik. So yeah, itu aja sih dari ogut. Kalau ada yang mau share pemikiran juga, feel free.
Komentar
Posting Komentar