BEROPINI - Politik Dinasti & Demokrasi

Haloooo, kembali lagi bersama saya di episode beropini, kali ini saya akan beropini tentang current situation di Negara ini yaitu Pemilihan Umum yang punya segudang pembahasan akan pro dan kontra, Tulisan ini saya buat karena kekesalan terhadap suasana politik di negeri ini, yang diwarnai oleh politik dinasti yang mengancam demokrasi. 

Sebagai disclaimer, saya ingin menyatakan bahwa saya tidak memiliki kepentingan politik dengan partai manapun, tetapi saya hanya peduli dengan kondisi rakyat saat ini yang menjunjung tinggi demokrasi. Tulisan ini juga hanya berupa opini pribadi dan bukan hasil dari riset ilmiah yang memiliki pertanggungjawaban.

Saya sangat prihatin dengan praktik politik dinasti yang semakin menguat, terutama yang terjadi di Indonesia. Sebagai seorang warga negara yang peduli dengan prinsip demokrasi, saya melihat bahwa Presiden Jokowi telah terlibat dalam praktik tersebut dengan membiarkan putranya mengikuti pemilihan presiden sebagai calon wakil presiden (cawapres) saat beliau masih menjabat.

Bagi saya, politik dinasti mencerminkan ketidakadilan dalam akses politik dan mengancam prinsip demokrasi. Praktik di mana kekuasaan politik dan jabatan politik diwariskan secara turun-temurun dalam keluarga atau golongan tertentu, seperti yang terjadi dalam kasus ini, memperkuat elit politik yang eksklusif dan merugikan kesempatan partisipasi politik yang merata.

Ini adalah masalah yang perlu ditangani dengan serius untuk memastikan bahwa demokrasi kita tetap berfungsi dengan baik dan bahwa setiap warga negara memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam proses politik tanpa adanya hambatan yang dibuat oleh politik dinasti.

Saya merasa sangat prihatin dengan situasi di mana Presiden membiarkan putranya ikut serta dalam pemilihan presiden sebagai calon wakil presiden, sedangkan menurut undang-undang pemilu, putra Presiden belum cukup umur untuk mencalonkan diri. Hal ini menciptakan kesan bahwa kekuasaan akan diturunkan secara langsung kepada anggota keluarga tanpa adanya jeda, yang menegaskan adanya praktik politik dinasti.

Bagi saya, ini sangat bermasalah karena menunjukkan bahwa ada ketidakadilan dalam perlakuan di mata hukum dan masyarakat. Hal ini juga memperkuat pandangan bahwa keluarga elit memiliki akses khusus terhadap kekuasaan politik, sementara orang lain harus tunduk pada aturan yang sama. Situasi ini jelas mengancam prinsip-prinsip dasar demokrasi dan menghambat partisipasi politik yang merata.

Dari sudut pandang saya, situasi ini sangat membingungkan dan menimbulkan kekhawatiran serius terhadap keadilan dan integritas proses politik. Meskipun batas usia untuk calon presiden dan wakil presiden tetap 40 tahun menurut UU Pemilu, adanya pengecualian yang dibuat setelah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) menimbulkan pertanyaan tentang keadilan dalam sistem hukum.

Pengecualian ini, yang memungkinkan orang yang telah menjabat sebagai kepala daerah untuk mencalonkan diri meskipun belum mencapai usia 40 tahun, tampaknya memberikan keuntungan yang tidak adil kepada sejumlah calon, termasuk putra Presiden. Keputusan ini terasa tidak konsisten dengan semangat pembaharuan yang seharusnya dilakukan dalam proses politik. 

Menurut Putusan Mahkamah Konstitusi No. 29/PUU-XXI/2023, uji materi mengenai Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 Tentang Pemilihan Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu) tentang batas minimal usia capres dan cawapres ditolak untuk seluruhnya (hal. 223). Adapun petitum pemohon adalah Pasal 169 huruf q UU Pemilu bertentangan dengan UUD dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai berusia sekurang-kurangnya 35 tahun (hal. 42).

Pengecualian ini, tampaknya memberikan keuntungan yang tidak adil kepada sejumlah calon, termasuk putra Presiden. Hal ini bertentangan dengan semangat pembaharuan yang seharusnya dilakukan dalam proses politik. Kompleksitas situasi ini semakin diperparah dengan adanya keprihatinan tentang potensi konflik kepentingan, karena salah satu hakim konstitusi memiliki hubungan keluarga dengan Presiden.

Dengan demikian, saya merasa bahwa situasi ini memunculkan pertanyaan serius tentang keadilan, konsistensi hukum, dan integritas dalam proses politik kita. Tiga poin pelanggaran etika dari pencalonan putra Presiden sebagai calon wakil presiden:

  1. Konflik Kepentingan: Pencalonan putra Presiden sebagai calon wakil presiden menimbulkan konflik kepentingan yang serius. Seorang hakim konstitusi, yang merupakan pamannya putra presiden dan ipar dari presiden, terlibat dalam proses pengambilan keputusan yang berkaitan dengan pengecualian usia untuk pencalonan putra presiden. Hal ini menciptakan ketidakpastian terhadap integritas proses politik dan keputusan hukum yang diambil.
  2. Penggunaan Kekuasaan: Mengizinkan pencalonan putra presiden sebagai calon wakil presiden, meskipun masih ada batasan usia yang ditetapkan oleh undang-undang, menimbulkan pertanyaan tentang penggunaan kekuasaan yang adil dan transparan. Keputusan untuk memberikan pengecualian bagi mereka yang telah menjabat sebagai kepala daerah untuk mencalonkan diri, termasuk putra presiden, terkesan lebih didorong oleh hubungan politik dan kekuasaan daripada keadilan dan kepentingan publik.
  3. Keadilan Politik: Pencalonan putra presiden sebagai calon wakil presiden juga menciptakan ketidakadilan politik dalam proses demokratisasi. Meskipun ada pengecualian usia, hal ini memberikan keuntungan yang tidak adil kepada putra presiden dan mengurangi kesempatan bagi kandidat lain yang mungkin lebih memenuhi syarat tetapi tidak mendapatkan perlakuan khusus yang sama.

Dengan demikian, pencalonan putra presiden sebagai calon wakil presiden menimbulkan berbagai masalah etika yang mengancam integritas proses politik dan prinsip-prinsip demokrasi yang seharusnya dijunjung tinggi.

So What ?

Apakah ini sudah bisa dikatakan Politik Dinasti : Tentu Iya

Beberapa indikator politik dinasti yang terlihat dalam situasi ini termasuk:

  1. Pewarisan Kekuasaan : Pencalonan putra presiden menunjukkan adanya upaya untuk meneruskan kekuasaan politik secara turun-temurun dalam keluarga presiden.
  2. Penggunaan Hubungan dan Kekuasaan : Pencalonan putra presiden memanfaatkan hubungan dan kekuasaan keluarga politiknya untuk memperoleh posisi politik yang tinggi.
  3. Ketidaksetaraan Akses Politik : Pencalonan putra presiden, yang mendapat pengecualian usia berdasarkan kebijakan yang diatur setelah putusan Mahkamah Konstitusi, menciptakan ketidaksetaraan akses politik bagi calon lain yang tidak memiliki hubungan politik semacam itu.

Dengan demikian, situasi ini memenuhi kriteria politik dinasti, di mana kekuasaan politik dan jabatan politik diwariskan dalam keluarga atau golongan tertentu, dan dapat mengancam prinsip demokrasi serta kesetaraan dalam akses politik.

Sebagai seorang anak muda yang berasal dari kaum minoritas, situasi ini memberikan dampak yang signifikan terhadap aspirasi dan harapan untuk mencapai kesetaraan dalam hak berpolitik. Pencalonan putra presiden sebagai calon wakil presiden memperkuat stigma bahwa kekuasaan politik masih terkonsentrasi di tangan kelompok yang sudah memiliki kedudukan politik yang mapan, sementara akses dan kesempatan bagi kaum minoritas untuk terlibat dalam proses politik menjadi terbatas.

Situasi ini menciptakan rasa ketidakadilan yang mendalam, karena terasa bahwa upaya dan kontribusi dari kaum minoritas mungkin tidak akan pernah diakui atau dihargai sebanding dengan kekuatan politik yang dimiliki oleh elit politik yang telah mapan. Hal ini dapat menyebabkan rasa putus asa dan ketidakpercayaan terhadap proses politik secara keseluruhan, yang pada gilirannya dapat meredupkan semangat partisipasi politik dari kalangan anak muda dan kaum minoritas.

Dengan demikian, situasi ini bukan hanya menjadi kendala praktis dalam mencapai kesetaraan dalam hak berpolitik, tetapi juga menghambat proses inklusi politik yang seharusnya membawa suara dan aspirasi dari semua lapisan masyarakat, termasuk anak muda dan kaum minoritas, menjadi bagian integral dari proses pembuatan keputusan politik yang adil dan berkeadilan.

Komentar

Postingan Populer